Sabtu, 17 Desember 2011

Pendekatan Dalam Desain Pesan Pembelajaran


PENDEKATAN DALAM DESAIN PESAN PEMBELAJARAN

BAB I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang Masalah
Pada sajian materi terdahulu kita telah banyak membahas materi yang berkenaan dengan desain pesan pembelajaran baik itu berkenaan dengan hakekat desain pesan pembelajaran, teori-teori pembelajaran, teori pembelajaran, maupun landasan desain pesan pembelajaran.

Sabtu, 10 Desember 2011

PP NO 28 TH 2010, Pengangkatan Kepala Sekolah

PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
NOMOR 28 TAHUN 2010
TENTANG
PENUGASAN GURU SEBAGAI KEPALA SEKOLAH/MADRASAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,

Menimbang : a. bahwa guru dapat diberikan tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah untuk memimpin dan mengelola sekolah/madrasah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan;
b. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas kepala sekolah/madrasah perlu dilakukan pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah serta sertifikasi kompetensi dan penilaian kinerja kepala sekolah/madrasah;
c. bahwa Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 162/U/2003 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah sudah tidak sesuai dengan perkembangan sistem pendidikan nasional;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah/Madrasah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
2
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586);
4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4754);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 194, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4941);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5105);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5135);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5157);
11. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
12. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;
13. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II;
14. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya;
15. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah;
3
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL TENTANG PENUGASAN GURU SEBAGAI KEPALA SEKOLAH/ MADRASAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Kepala sekolah/madrasah adalah guru yang diberi tugas tambahan untuk memimpin taman kanak-kanak/raudhotul athfal (TK/RA), taman kanak-kanak luar biasa (TKLB), sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI), sekolah dasar luar biasa (SDLB), sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (SMP/MTs), sekolah menengah pertama luar biasa (SMPLB), sekolah menengah atas/madrasah aliyah (SMA/MA), sekolah menengah kejuruan/madrasah aliyah kejuruan (SMK/MAK), atau sekolah menengah atas luar biasa (SMALB) yang bukan sekolah bertaraf internasional (SBI) atau yang tidak dikembangkan menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI).
2. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
3. Pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah adalah suatu tahapan dalam proses penyiapan calon kepala sekolah/madrasah melalui pemberian pengalaman pembelajaran teoretik maupun praktik tentang kompetensi kepala sekolah/madrasah yang diakhiri dengan penilaian sesuai standar nasional.
4. Penilaian akseptabilitas adalah penilaian calon kepala sekolah/madrasah yang bertujuan untuk menilai ketepatan calon dengan sekolah/madrasah dimana yang bersangkutan akan diangkat dan ditempatkan.
5. Kompetensi kepala sekolah/madrasah adalah pengetahuan, sikap dan keterampilan pada dimensi-dimensi kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial.
6. Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.
7. Sertifikat kepala sekolah/madrasah adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru bahwa yang bersangkutan telah memenuhi kualifikasi dan kompetensi untuk mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah.
8. Penilaian kinerja adalah suatu proses menentukan nilai kinerja kepala sekolah/madrasah dengan menggunakan patokan-patokan tertentu.
9. Pengembangan keprofesian berkelanjutan adalah proses dan kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap profesional kepala sekolah/madrasah yang dilaksanakan berjenjang, bertahap, dan berkesinambungan dalam rangka meningkatkan manajemen dan kepemimpinan sekolah/madrasah
10. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
11. Kementerian adalah kementerian yang menangani urusan pemerintah dalam bidang pendidikan nasional.
12. Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintah dalam bidang pendidikan nasional.
4
13. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bertanggungjawab di bidang pendidik dan tenaga kependidikan di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama sesuai kewenangannya.
14. Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota.
15. Kantor wilayah kementerian agama/kantor kementerian agama kabupaten/kota adalah perwakilan Kementerian Agama tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota.
16. Dinas provinsi adalah dinas yang bertanggungjawab di bidang pendidikan di provinsi.
17. Dinas kabupaten/kota adalah dinas yang bertanggungjawab di bidang pendidikan di kabupaten/kota.
18. Pengawas sekolah adalah guru yang diangkat dalam jabatan pengawas sekolah/madrasah.
BAB II
SYARAT-SYARAT GURU YANG DIBERI TUGAS TAMBAHAN
SEBAGAI KEPALA SEKOLAH/MADRASAH
Pasal 2
(1) Guru dapat diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah apabila memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus.
(2) Persyaratan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. memiliki kualifikasi akademik paling rendah sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) kependidikan atau nonkependidikan perguruan tinggi yang terakreditasi;
c. berusia setinggi-tingginya 56 (lima puluh enam) tahun pada waktu pengangkatan pertama sebagai kepala sekolah/madrasah;
d. sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dari dokter Pemerintah;
e. tidak pernah dikenakan hukuman disiplin sedang dan/atau berat sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
f. memiliki sertifikat pendidik;
h. pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun menurut jenis dan jenjang sekolah/madrasah masing-masing, kecuali di taman kanak-kanak/raudhatul athfal/taman kanak-kanak luar biasa (TK/RA/TKLB) memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun di TK/RA/TKLB;
i. memiliki golongan ruang serendah-rendahnya III/c bagi guru pegawai negeri sipil (PNS) dan bagi guru bukan PNS disetarakan dengan kepangkatan yang dikeluarkan oleh yayasan atau lembaga yang berwenang dibuktikan dengan SK inpasing;
j. memperoleh nilai amat baik untuk unsur kesetiaan dan nilai baik untuk unsur penilaian lainnya sebagai guru dalam daftar penilaian prestasi pegawai (DP3) bagi PNS atau penilaian yang sejenis DP3 bagi bukan PNS dalam 2 (dua) tahun terakhir; dan
k. memperoleh nilai baik untuk penilaian kinerja sebagai guru dalam 2 (dua) tahun terakhir.
5
(3) Persyaratan khusus guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah meliputi:
a. berstatus sebagai guru pada jenis atau jenjang sekolah/madrasah yang sesuai dengan sekolah/madrasah tempat yang bersangkutan akan diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah;
b. memiliki sertifikat kepala sekolah/madrasah pada jenis dan jenjang yang sesuai dengan pengalamannya sebagai pendidik yang diterbitkan oleh lembaga yang ditunjuk dan ditetapkan Direktur Jenderal.
(4) Khusus bagi guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah Indonesia luar negeri, selain memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) butir a dan b juga harus memenuhi persyaratan khusus tambahan sebagai berikut:
a. memiliki pengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai kepala sekolah/madrasah;
b. mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan atau bahasa negara dimana yang bersangkutan bertugas;
c. mempunyai wawasan luas tentang seni dan budaya Indonesia sehingga dapat mengenalkan dan mengangkat citra Indonesia di tengah-tengah pergaulan internasional.
BAB III
PENYIAPAN CALON KEPALA SEKOLAH/MADRASAH
Pasal 3
(1) Penyiapan calon kepala sekolah/madrasah meliputi rekrutmen serta pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah.
(2) Kepala dinas propinsi/kabupaten/kota dan kantor wilayah kementerian agama/kantor kementerian agama kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya menyiapkan calon kepala sekolah/madrasah berdasarkan proyeksi kebutuhan 2 (dua) tahun yang akan datang.
Pasal 4
(1) Calon kepala sekolah/madrasah direkrut dari guru yang telah memenuhi persyaratan umum sebagaimana dimaksud pada Pasal 2.
(2) Calon kepala sekolah/madrasah direkrut melalui pengusulan oleh kepala sekolah/madrasah dan/atau pengawas yang bersangkutan kepada dinas propinsi/kabupaten/kota dan kantor wilayah kementerian agama/kantor kementerian agama kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 5
(1) Dinas propinsi/kabupaten/kota dan kantor wilayah kementerian agama/kantor kementerian agama kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya melakukan seleksi administratif dan akademik.
(2) Seleksi administratif dilakukan melalui penilaian kelengkapan dokumen yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang sebagai bukti bahwa calon kepala sekolah/madrasah bersangkutan telah memenuhi persyaratan umum sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 2 ayat (2).
(3) Seleksi akademik dilakukan melalui penilaian potensi kepemimpinan dan penguasaan awal terhadap kompetensi kepala sekolah/madrasah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
6
Pasal 6
(1) Guru yang telah lulus seleksi calon kepala sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus mengikuti program pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah di lembaga terakreditasi.
(2) Akreditasi terhadap lembaga penyelenggara program penyiapan calon kepala sekolah/madrasah dilaksanakan oleh lembaga yang ditunjuk dan ditetapkan oleh menteri.
Pasal 7
(1) Pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah kegiatan pemberian pengalaman pembelajaran teoretik maupun praktik yang bertujuan untuk menumbuhkembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan pada dimensi-dimensi kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial.
(2) Pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah dilaksanakan dalam kegiatan tatap muka dalam kurun waktu minimal 100 (seratus) jam dan praktik pengalaman lapangan dalam kurun waktu minimal selama 3 (tiga) bulan.
(3) Pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah dikoordinasikan dan difasilitasi oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
(4) Pemerintah dapat memfasilitasi pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota untuk meningkatkan kemampuan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah.
(5) Pendidikan dan pelatihan diakhiri dengan penilaian untuk mengetahui pencapaian kompetensi calon kepala sekolah/madrasah.
(6) Calon kepala sekolah/madrasah yang dinyatakan lulus penilaian diberi sertifikat kepala sekolah/madrasah oleh lembaga penyelenggara.
(7) Sertifikat kepala sekolah/madrasah dicatat dalam database nasional dan diberi nomor unik oleh menteri atau lembaga yang ditunjuk
Pasal 8
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyiapan calon kepala sekolah/madrasah diatur dalam pedoman yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
BAB IV
PROSES PENGANGKATAN KEPALA SEKOLAH/MADRASAH
Pasal 9
(1) Pengangkatan kepala sekolah/madrasah dilakukan melalui penilaian akseptabilitas oleh tim pertimbangan pengangkatan kepala sekolah/madrasah.
(2) Tim pertimbangan pengangkatan kepala sekolah/madrasah ditetapkan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau penyelenggara sekolah/madrasah yang dilaksanakan oleh masyarakat sesuai dengan kewenangannya.
(3) Tim pertimbangan melibatkan unsur pengawas sekolah/madrasah dan dewan pendidikan.
7
(4) Berdasarkan rekomendasi tim pertimbangan pengangkatan kepala sekolah/madrasah, Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau penyelenggara sekolah/madrasah sesuai dengan kewenangannya mengangkat guru menjadi kepala sekolah/madrasah sebagai tugas tambahan.
(5) Guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah mendapatkan tunjangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB V
MASA TUGAS
Pasal 10
(1) Kepala sekolah/madrasah diberi 1 (satu) kali masa tugas selama 4 (empat) tahun.
(2) Masa tugas kepala sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa tugas apabila memiliki prestasi kerja minimal baik berdasarkan penilaian kinerja.
(3) Guru yang melaksanakan tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah 2 (dua) kali masa tugas berturut-turut, dapat ditugaskan kembali menjadi kepala sekolah/madrasah di sekolah/madrasah lain yang memiliki nilai akreditasi lebih rendah dari sekolah/madrasah sebelumnya, apabila :
a. telah melewati tenggang waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) kali masa tugas; atau
b. memiliki prestasi yang istimewa.
(4) Prestasi yang istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b adalah memiliki nilai kinerja amat baik dan berprestasi di tingkat kabupaten/kota/ provinsi/nasional.
(5) Kepala sekolah/madrasah yang masa tugasnya berakhir, tetap melaksanakan tugas sebagai guru sesuai dengan jenjang jabatannya dan berkewajiban melaksanakan proses pembelajaran atau bimbingan dan konseling sesuai dengan ketentuan.
BAB VI
PENGEMBANGAN KEPROFESIAN BERKELANJUTAN
Pasal 11
(1) Pengembangan keprofesian berkelanjutan meliputi pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap pada dimensi-dimensi kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial.
(2) Pengembangan keprofesian berkelanjutan dilaksanakan melalui pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan/atau karya inovatif.
(3) Pengembangan keprofesian berkelanjutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Direktur Jenderal.
8
BAB VII
PENILAIAN KINERJA KEPALA SEKOLAH/MADRASAH
Pasal 12
(1) Penilaian kinerja kepala sekolah/madrasah dilakukan secara berkala setiap tahun dan secara kumulatif setiap 4 (empat) tahun.
(2) Penilaian kinerja tahunan dilaksanakan oleh pengawas sekolah/madrasah.
(3) Penilaian kinerja 4 (empat) tahunan dilaksanakan oleh atasan langsung dengan mempertimbangkan penilaian kinerja oleh tim penilai yang terdiri dari pengawas sekolah/madrasah, pendidik, tenaga kependidikan, dan komite sekolah dimana yang bersangkutan bertugas.
(4) Penilaian kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. usaha pengembangan sekolah/madrasah yang dilakukan selama menjabat kepala sekolah/madrasah;
b. peningkatan kualitas sekolah/madrasah berdasarkan 8 (delapan) standar nasional pendidikan selama dibawah kepemimpinan yang bersangkutan; dan
c. Usaha pengembangan profesionalisme sebagai kepala sekolah/madrasah;
(5) Hasil penilaian kinerja dikategorikan dalam tingkatan amat baik, baik, cukup, sedang atau kurang.
(6) Penilaian kinerja kepala sekolah/madrasah dilaksanakan sesuai pedoman penilaian kinerja kepala sekolah/madrasah yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
BAB VIII
MUTASI DAN PEMBERHENTIAN TUGAS GURU SEBAGAI
KEPALA SEKOLAH/MADRASAH
Pasal 13
Kepala sekolah/madrasah dapat dimutasikan setelah melaksanakan masa tugas dalam 1 (satu) sekolah/madrasah sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun.
Pasal 14
(1) Kepala sekolah/madrasah dapat diberhentikan dari penugasan karena:
a. permohonan sendiri;
b. masa penugasan berakhir;
c. telah mencapai batas usia pensiun jabatan fungsional guru;
d. diangkat pada jabatan lain;
e. dikenakan hukuman disiplin sedang dan/atau berat;
f. dinilai berkinerja kurang dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada Pasal 12
g. berhalangan tetap;
h. tugas belajar sekurang-kurangnya selama 6 (enam) bulan;dan/atau
i. meninggal dunia.
(2) Pemberhentian kepala sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau penyelenggara sekolah/madrasah sesuai dengan kewenangannya.
9
Pasal 15
Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya berdasarkan penilaian kinerja dan masukan dari tim pertimbangan pengangkatan kepala sekolah/madrasah menetapkan keputusan perpanjangan masa penugasan kepala sekolah/madrasah.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
Pada saat Peraturan Menteri ini ditetapkan guru yang sedang melaksanakan tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah, masa tugasnya dihitung sejak yang bersangkutan ditugaskan sebagai kepala sekolah/madrasah.
Pasal 17
Pada saat Peraturan Menteri ini ditetapkan, guru yang telah atau sedang melaksanakan tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah tidak dipersyaratkan memiliki sertifikat kepala sekolah/madrasah sampai selesai masa tugasnya.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
(1) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Menteri ini Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau penyelenggara sekolah/madrasah wajib melaksanakan program penyiapan calon kepala sekolah/madrasah.
(2) Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau penyelenggara sekolah/madrasah wajib melaksanakan Peraturan Menteri ini dalam penugasan guru sebagai kepala sekolah/madrasah paling lambat tahun 2013.
Pasal 19
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 162/U/2003 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 20
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan
10
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Oktober 2010
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD
MOHAMMAD NUH
PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
NOMOR 28 TAHUN 2010
TENTANG
PENUGASAN GURU SEBAGAI KEPALA SEKOLAH/MADRASAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Menimbang : a. bahwa guru dapat diberikan tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah untuk memimpin dan mengelola sekolah/madrasah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan;
b. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas kepala sekolah/madrasah perlu dilakukan pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah serta sertifikasi kompetensi dan penilaian kinerja kepala sekolah/madrasah;
c. bahwa Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 162/U/2003 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah sudah tidak sesuai dengan perkembangan sistem pendidikan nasional;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah/Madrasah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
2
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586);
4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4754);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 194, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4941);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5105);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5135);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5157);
11. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
12. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;
13. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II;
14. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya;
15. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah;
3
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL TENTANG PENUGASAN GURU SEBAGAI KEPALA SEKOLAH/ MADRASAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Kepala sekolah/madrasah adalah guru yang diberi tugas tambahan untuk memimpin taman kanak-kanak/raudhotul athfal (TK/RA), taman kanak-kanak luar biasa (TKLB), sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI), sekolah dasar luar biasa (SDLB), sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (SMP/MTs), sekolah menengah pertama luar biasa (SMPLB), sekolah menengah atas/madrasah aliyah (SMA/MA), sekolah menengah kejuruan/madrasah aliyah kejuruan (SMK/MAK), atau sekolah menengah atas luar biasa (SMALB) yang bukan sekolah bertaraf internasional (SBI) atau yang tidak dikembangkan menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI).
2. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
3. Pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah adalah suatu tahapan dalam proses penyiapan calon kepala sekolah/madrasah melalui pemberian pengalaman pembelajaran teoretik maupun praktik tentang kompetensi kepala sekolah/madrasah yang diakhiri dengan penilaian sesuai standar nasional.
4. Penilaian akseptabilitas adalah penilaian calon kepala sekolah/madrasah yang bertujuan untuk menilai ketepatan calon dengan sekolah/madrasah dimana yang bersangkutan akan diangkat dan ditempatkan.
5. Kompetensi kepala sekolah/madrasah adalah pengetahuan, sikap dan keterampilan pada dimensi-dimensi kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial.
6. Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.
7. Sertifikat kepala sekolah/madrasah adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru bahwa yang bersangkutan telah memenuhi kualifikasi dan kompetensi untuk mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah.
8. Penilaian kinerja adalah suatu proses menentukan nilai kinerja kepala sekolah/madrasah dengan menggunakan patokan-patokan tertentu.
9. Pengembangan keprofesian berkelanjutan adalah proses dan kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap profesional kepala sekolah/madrasah yang dilaksanakan berjenjang, bertahap, dan berkesinambungan dalam rangka meningkatkan manajemen dan kepemimpinan sekolah/madrasah
10. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
11. Kementerian adalah kementerian yang menangani urusan pemerintah dalam bidang pendidikan nasional.
12. Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintah dalam bidang pendidikan nasional.
4
13. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bertanggungjawab di bidang pendidik dan tenaga kependidikan di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama sesuai kewenangannya.
14. Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota.
15. Kantor wilayah kementerian agama/kantor kementerian agama kabupaten/kota adalah perwakilan Kementerian Agama tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota.
16. Dinas provinsi adalah dinas yang bertanggungjawab di bidang pendidikan di provinsi.
17. Dinas kabupaten/kota adalah dinas yang bertanggungjawab di bidang pendidikan di kabupaten/kota.
18. Pengawas sekolah adalah guru yang diangkat dalam jabatan pengawas sekolah/madrasah.
BAB II
SYARAT-SYARAT GURU YANG DIBERI TUGAS TAMBAHAN
SEBAGAI KEPALA SEKOLAH/MADRASAH
Pasal 2
(1) Guru dapat diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah apabila memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus.
(2) Persyaratan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. memiliki kualifikasi akademik paling rendah sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) kependidikan atau nonkependidikan perguruan tinggi yang terakreditasi;
c. berusia setinggi-tingginya 56 (lima puluh enam) tahun pada waktu pengangkatan pertama sebagai kepala sekolah/madrasah;
d. sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dari dokter Pemerintah;
e. tidak pernah dikenakan hukuman disiplin sedang dan/atau berat sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
f. memiliki sertifikat pendidik;
h. pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun menurut jenis dan jenjang sekolah/madrasah masing-masing, kecuali di taman kanak-kanak/raudhatul athfal/taman kanak-kanak luar biasa (TK/RA/TKLB) memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun di TK/RA/TKLB;
i. memiliki golongan ruang serendah-rendahnya III/c bagi guru pegawai negeri sipil (PNS) dan bagi guru bukan PNS disetarakan dengan kepangkatan yang dikeluarkan oleh yayasan atau lembaga yang berwenang dibuktikan dengan SK inpasing;
j. memperoleh nilai amat baik untuk unsur kesetiaan dan nilai baik untuk unsur penilaian lainnya sebagai guru dalam daftar penilaian prestasi pegawai (DP3) bagi PNS atau penilaian yang sejenis DP3 bagi bukan PNS dalam 2 (dua) tahun terakhir; dan
k. memperoleh nilai baik untuk penilaian kinerja sebagai guru dalam 2 (dua) tahun terakhir.
5
(3) Persyaratan khusus guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah meliputi:
a. berstatus sebagai guru pada jenis atau jenjang sekolah/madrasah yang sesuai dengan sekolah/madrasah tempat yang bersangkutan akan diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah;
b. memiliki sertifikat kepala sekolah/madrasah pada jenis dan jenjang yang sesuai dengan pengalamannya sebagai pendidik yang diterbitkan oleh lembaga yang ditunjuk dan ditetapkan Direktur Jenderal.
(4) Khusus bagi guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah Indonesia luar negeri, selain memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) butir a dan b juga harus memenuhi persyaratan khusus tambahan sebagai berikut:
a. memiliki pengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai kepala sekolah/madrasah;
b. mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan atau bahasa negara dimana yang bersangkutan bertugas;
c. mempunyai wawasan luas tentang seni dan budaya Indonesia sehingga dapat mengenalkan dan mengangkat citra Indonesia di tengah-tengah pergaulan internasional.
BAB III
PENYIAPAN CALON KEPALA SEKOLAH/MADRASAH
Pasal 3
(1) Penyiapan calon kepala sekolah/madrasah meliputi rekrutmen serta pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah.
(2) Kepala dinas propinsi/kabupaten/kota dan kantor wilayah kementerian agama/kantor kementerian agama kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya menyiapkan calon kepala sekolah/madrasah berdasarkan proyeksi kebutuhan 2 (dua) tahun yang akan datang.
Pasal 4
(1) Calon kepala sekolah/madrasah direkrut dari guru yang telah memenuhi persyaratan umum sebagaimana dimaksud pada Pasal 2.
(2) Calon kepala sekolah/madrasah direkrut melalui pengusulan oleh kepala sekolah/madrasah dan/atau pengawas yang bersangkutan kepada dinas propinsi/kabupaten/kota dan kantor wilayah kementerian agama/kantor kementerian agama kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 5
(1) Dinas propinsi/kabupaten/kota dan kantor wilayah kementerian agama/kantor kementerian agama kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya melakukan seleksi administratif dan akademik.
(2) Seleksi administratif dilakukan melalui penilaian kelengkapan dokumen yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang sebagai bukti bahwa calon kepala sekolah/madrasah bersangkutan telah memenuhi persyaratan umum sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 2 ayat (2).
(3) Seleksi akademik dilakukan melalui penilaian potensi kepemimpinan dan penguasaan awal terhadap kompetensi kepala sekolah/madrasah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
6
Pasal 6
(1) Guru yang telah lulus seleksi calon kepala sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus mengikuti program pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah di lembaga terakreditasi.
(2) Akreditasi terhadap lembaga penyelenggara program penyiapan calon kepala sekolah/madrasah dilaksanakan oleh lembaga yang ditunjuk dan ditetapkan oleh menteri.
Pasal 7
(1) Pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah kegiatan pemberian pengalaman pembelajaran teoretik maupun praktik yang bertujuan untuk menumbuhkembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan pada dimensi-dimensi kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial.
(2) Pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah dilaksanakan dalam kegiatan tatap muka dalam kurun waktu minimal 100 (seratus) jam dan praktik pengalaman lapangan dalam kurun waktu minimal selama 3 (tiga) bulan.
(3) Pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah dikoordinasikan dan difasilitasi oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
(4) Pemerintah dapat memfasilitasi pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota untuk meningkatkan kemampuan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah.
(5) Pendidikan dan pelatihan diakhiri dengan penilaian untuk mengetahui pencapaian kompetensi calon kepala sekolah/madrasah.
(6) Calon kepala sekolah/madrasah yang dinyatakan lulus penilaian diberi sertifikat kepala sekolah/madrasah oleh lembaga penyelenggara.
(7) Sertifikat kepala sekolah/madrasah dicatat dalam database nasional dan diberi nomor unik oleh menteri atau lembaga yang ditunjuk
Pasal 8
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyiapan calon kepala sekolah/madrasah diatur dalam pedoman yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
BAB IV
PROSES PENGANGKATAN KEPALA SEKOLAH/MADRASAH
Pasal 9
(1) Pengangkatan kepala sekolah/madrasah dilakukan melalui penilaian akseptabilitas oleh tim pertimbangan pengangkatan kepala sekolah/madrasah.
(2) Tim pertimbangan pengangkatan kepala sekolah/madrasah ditetapkan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau penyelenggara sekolah/madrasah yang dilaksanakan oleh masyarakat sesuai dengan kewenangannya.
(3) Tim pertimbangan melibatkan unsur pengawas sekolah/madrasah dan dewan pendidikan.
7
(4) Berdasarkan rekomendasi tim pertimbangan pengangkatan kepala sekolah/madrasah, Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau penyelenggara sekolah/madrasah sesuai dengan kewenangannya mengangkat guru menjadi kepala sekolah/madrasah sebagai tugas tambahan.
(5) Guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah mendapatkan tunjangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB V
MASA TUGAS
Pasal 10
(1) Kepala sekolah/madrasah diberi 1 (satu) kali masa tugas selama 4 (empat) tahun.
(2) Masa tugas kepala sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa tugas apabila memiliki prestasi kerja minimal baik berdasarkan penilaian kinerja.
(3) Guru yang melaksanakan tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah 2 (dua) kali masa tugas berturut-turut, dapat ditugaskan kembali menjadi kepala sekolah/madrasah di sekolah/madrasah lain yang memiliki nilai akreditasi lebih rendah dari sekolah/madrasah sebelumnya, apabila :
a. telah melewati tenggang waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) kali masa tugas; atau
b. memiliki prestasi yang istimewa.
(4) Prestasi yang istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b adalah memiliki nilai kinerja amat baik dan berprestasi di tingkat kabupaten/kota/ provinsi/nasional.
(5) Kepala sekolah/madrasah yang masa tugasnya berakhir, tetap melaksanakan tugas sebagai guru sesuai dengan jenjang jabatannya dan berkewajiban melaksanakan proses pembelajaran atau bimbingan dan konseling sesuai dengan ketentuan.
BAB VI
PENGEMBANGAN KEPROFESIAN BERKELANJUTAN
Pasal 11
(1) Pengembangan keprofesian berkelanjutan meliputi pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap pada dimensi-dimensi kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial.
(2) Pengembangan keprofesian berkelanjutan dilaksanakan melalui pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan/atau karya inovatif.
(3) Pengembangan keprofesian berkelanjutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Direktur Jenderal.
8
BAB VII
PENILAIAN KINERJA KEPALA SEKOLAH/MADRASAH
Pasal 12
(1) Penilaian kinerja kepala sekolah/madrasah dilakukan secara berkala setiap tahun dan secara kumulatif setiap 4 (empat) tahun.
(2) Penilaian kinerja tahunan dilaksanakan oleh pengawas sekolah/madrasah.
(3) Penilaian kinerja 4 (empat) tahunan dilaksanakan oleh atasan langsung dengan mempertimbangkan penilaian kinerja oleh tim penilai yang terdiri dari pengawas sekolah/madrasah, pendidik, tenaga kependidikan, dan komite sekolah dimana yang bersangkutan bertugas.
(4) Penilaian kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. usaha pengembangan sekolah/madrasah yang dilakukan selama menjabat kepala sekolah/madrasah;
b. peningkatan kualitas sekolah/madrasah berdasarkan 8 (delapan) standar nasional pendidikan selama dibawah kepemimpinan yang bersangkutan; dan
c. Usaha pengembangan profesionalisme sebagai kepala sekolah/madrasah;
(5) Hasil penilaian kinerja dikategorikan dalam tingkatan amat baik, baik, cukup, sedang atau kurang.
(6) Penilaian kinerja kepala sekolah/madrasah dilaksanakan sesuai pedoman penilaian kinerja kepala sekolah/madrasah yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
BAB VIII
MUTASI DAN PEMBERHENTIAN TUGAS GURU SEBAGAI
KEPALA SEKOLAH/MADRASAH
Pasal 13
Kepala sekolah/madrasah dapat dimutasikan setelah melaksanakan masa tugas dalam 1 (satu) sekolah/madrasah sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun.
Pasal 14
(1) Kepala sekolah/madrasah dapat diberhentikan dari penugasan karena:
a. permohonan sendiri;
b. masa penugasan berakhir;
c. telah mencapai batas usia pensiun jabatan fungsional guru;
d. diangkat pada jabatan lain;
e. dikenakan hukuman disiplin sedang dan/atau berat;
f. dinilai berkinerja kurang dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada Pasal 12
g. berhalangan tetap;
h. tugas belajar sekurang-kurangnya selama 6 (enam) bulan;dan/atau
i. meninggal dunia.
(2) Pemberhentian kepala sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau penyelenggara sekolah/madrasah sesuai dengan kewenangannya.
9
Pasal 15
Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya berdasarkan penilaian kinerja dan masukan dari tim pertimbangan pengangkatan kepala sekolah/madrasah menetapkan keputusan perpanjangan masa penugasan kepala sekolah/madrasah.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
Pada saat Peraturan Menteri ini ditetapkan guru yang sedang melaksanakan tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah, masa tugasnya dihitung sejak yang bersangkutan ditugaskan sebagai kepala sekolah/madrasah.
Pasal 17
Pada saat Peraturan Menteri ini ditetapkan, guru yang telah atau sedang melaksanakan tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah tidak dipersyaratkan memiliki sertifikat kepala sekolah/madrasah sampai selesai masa tugasnya.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
(1) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Menteri ini Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau penyelenggara sekolah/madrasah wajib melaksanakan program penyiapan calon kepala sekolah/madrasah.
(2) Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau penyelenggara sekolah/madrasah wajib melaksanakan Peraturan Menteri ini dalam penugasan guru sebagai kepala sekolah/madrasah paling lambat tahun 2013.
Pasal 19
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 162/U/2003 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 20
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan
10
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Oktober 2010
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD
MOHAMMAD NUH

Senin, 27 Juni 2011

SEJARAH PLATO

SEJARAH DAN TEMUAN PLATO

Plato merupakan filsuf Yunani yang menghasilkan banyak karya, ada yang berupa karya sendiri mau pun karya yang dibuatkan oleh para muridnya. Cita-cita Plato dahulunya ingin menjadi seorang politikus, tetapi dikarenakan kejadian bahwa Socrates mati dihukum minum racun, pupus sudah cita-citanya. Plato mengurungkan niatnya menjadi seorang politikus dikarenakan Socrates itulah yang merupakan gurunya selama 8 tahun (Hadiwijono, 38:2005).
Plato dilahirkan di Athena pada tahun 472 SM dan ia pun merupakan bangsawan. Ia keturunan bangsawan dikarenakan ayahnya yang bernama Ariston merupakan keturunan raja Athena dan raja Messenia, sedangkan ibunya juga mendukung kategori kebangsawanan Plato dikarenakan ibunya yang bernama Perictone memiliki hubungan baik dengan pembuat hukum yang juga seorang negarawan bernama Solon (Inet, 1b). Plato juga meninggal di kota yang sama ketika ia dilahirkan yaitu Athena pada tahun 347 SM (Delfgaauw, 19:1992).
Ajaran Plato dapat dikategorikan menjadi tiga besar yaitu: ajaran tentang ide, ajaran tentang pengenalan, dan ajaran tentang manusia. Ajaran-ajaran ini didapatkan dari buku-buku yang telah ditulisnya, serta buku berisi tentang dialog Plato yang disusun oleh orang lain atau bisa jadi oleh muridnya.
Tentang Ide dan Pengenalan
Plato sebelumnya telah memberi solusi terhadap persoalan tentang sesuatu yang berubah dan sesuatu yang tetap. Persoalan ini merupakan perlawanan pemikiran antara Herakleitos dan Parmenides. Plato memberi solusi dengan mengemukakan gagasan bahwa ada sesuatu yang tetap dan ada pula yang berubah. Dari sini Plato sekaligus menyetujui pendapat keduanya serta menambahkan pendapat Parmenides bahwa sesuatu yang tetap kekal tidak berubah itu adalah ide atau “idea”.

Menurut Plato ide merupakan sesuatu yang memimpin pemikiran manusia. Ide bukanlah hasil pemikiran subjektif, melainkan ide itu objektif. Ide lepas dari subjek yang berpikir. Meski pun tiap orang berbeda dengan orang yang lain, atau tidak ada orang yang persis sama meski pun ia anak kembar, tetap saja orang adalah manusia inilah idenya yang tak berubah itu. Adanya suatu pengamatan dan pengungkapan yang serba bervariasi dan berubah itu merupakan pengungkapan atas ide yang tidak berubah. Orang bisa mengamati satu benda yang sama tetapi masing-masing orang punya pendapat lain.
Plato memiliki pandangan lebih tentang hakikat atau esensi dari segala sesuatu dibandingkan dengan Socrates. Plato meneruskan pendapat Socrates bahwa hakikat segala sesuatu bukan hanya dapat diketahui melalui keumuman, melainkan hakikat dari segala sesuatu itu nyata dalam ide. Solusi pertentangan Herakleitos dan Parmenides, dikemukakan Plato dengan mengkategorikan dua macam dunia, yaitu dunia yang serba berubah, serba jamak, dan tiada hal yang sempurna, sifatnya inderawi. Lalu dunia ide, yang merupakan dunia tanpa perubahan, tanpa kejamakan dalam artian bahwa (yang baik hanya satu, yang adil hanya satu, dan sebagainya) dan bersifat kekal.
Ide-ide di dunia hadir dalam benda yang kongkrit, semisal ide manusia ada pada tiap manusia, ide kucing ada pada tiap kucing. Benda-benda tersebut juga mengambil peran dan berpartisipasi dengan ide-idenya. Misalnya ada kucing sakti, kucing kampung, kucing peliharaan. Dalam contoh tersebut terdapat ide kucing, ide sakti, ide kampung, ide peliharaan. Ide tersebut berfungsi sebagai contoh benda-benda yang kita amati di dunia ini (Hadiwijono, 41:2005).
Telah disinggung, bahwa di dalam dunia idea tiada kejamakan, dalam arti ini, bahwa “yang baik” hanya satu saja dan seterusnya, sehingga tiada bermacam-macam “yang baik”. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa dunia ide itu hanya terdiri dari satu ide saja, melainkan ada banyak ide. Oleh karena itu dilihat dari segi lain harus juga dikatakan bahwa ada kejamakan, ada bermacam-macam ide, ide manusia, binatang, dan lain-lainnya. Ide yang satu dihubungkan dengan ide yang lain, umpamanya seperti yang telah dikemukakan: ide bunga dikaitkan dengan ide bagus, ide api dihubungkan dengan ide panas, dan sebagainya. Hubungan antara ide-ide ini disebut koinonia (persekutuan). Di dalam dunia ide itu juga ada hierarki, umpamanya: ide anjing termasuk ide binatang menyusui, termasuk ide binatang, termasuk ide makhluk dan seterusnya. Segala ide itu jikalau disusun secara hierarkis memiliki ide “yang baik” sebagai puncaknya, yang menyinari segala ide.

Tentang Manusia
Menurut Plato ada dua hal yang utama dalam manusia yaitu jiwa dan tubuh, keduanya merupakan kenyataan yang harus dibedakan dan dipisahkan. Jiwa berada sendiri. Jiwa adalah sesuatu yang adikodrati, yang berasal dari dunia ide dan oleh karenanya bersifat kekal, tidak dapat mati (Hadiwijono, 43:2005). Tidak seperti Socrates yang menganggap bahwa jiwa merupakan satu asas tunggal, Plato memiliki pendapat bahwa jiwa memiliki tiga bagian yaitu: rasional yang dihubungkan dengan kebijaksanaan yang dapat mengendalikan kepada rasa yang lebih rendah seperti nafsu, kehendak yang dihubungkan dengan kegagahan, dan keinginan yang dihubungkan dengan nafsu (Delfgaauw, 25:1992).
Plato percaya bahwa jiwa itu dipenjarakan di dalam tubuh, oleh karena itu jiwa harus dilepaskan dengan cara berusaha mendapatkan pengetahuan untuk melihat ide-ide. Plato juga percaya bahwa ada pra-eksistensi jiwa dan jiwa itu tidak dapat mati. Dalam tubuh jiwa terbelenggu dan untuk melepas jiwa dari tubuh hanya sedikit orang yang berhasil (mencapai pengetahuan dan mengalami ide-ide). Sikap yang selalu terpikat pada ke-tubuh-an kongkrit inilah yang membuat sulit.
Ada sebuah mitos yang diuraikan oleh Plato sehingga dapat mudah memahami maksud Plato tentang jiwa dan tubuh. Manusia dilukiskan sebagai orang-orang tawanan yang berderet-deret dibelenggu di tengah-tengah sebuah gua, dengan muka mereka dihadapkan ke dinding gua, dan tubuh mereka membelakangi lubang masuk gua. Sementara di luar gua ada api unggun yang sinarnya sampai ke dalam gua dan di luar itu pula ada banyak orang yang lewat. Secara otomatis cahaya api unggun tadi membuat bayangan orang pada dinding gua, tentu saja para tawanan tadi melihat bayangan tadi. Para tawanan itu pun selama hidupnya hanya melihat bayangan, dan mereka menganggap bahwa itulah kenyataan hidup. Pada suatu hari seorang tawanan dilepaskan dan dibolehkan untuk melihat ke belakang ke luar gua. Akhirnya seorang tawanan itu tahu bahwa yang selama ini dilihat adalah bayangan belaka. Tawanan itu pun menyadari bahwa kenyataan yang baru saja dilihat ternyata jauh lebih indah dari pada bayangan. Lalu tawanan yang telah memiliki pengalaman dan menyadari bahwa kenyataan di luar lebih indah itu menceritakan kepada para tawanan lain. Tetapi reaksi mereka di luar dugaan, mereka tidak percaya dan membunuh tawanan yang bercerita.
Begitu sulitnya untuk lepas dari belenggu tubuh, oleh karena itu paling tidak menurut Plato, orang harus berusaha untuk memperoleh pengetahuan sebanyak-banyaknya tentang kenyataan dan ide-ide. Hal ini juga berarti Plato tidak menyuruh untuk lari dari dunia, tetapi hal yang sempurna tidak akan ada didapatkan di dunia ini. Oleh karenanya usaha untuk memperoleh hal yang terbaik di dunia manusia harus mendapat pendidikan. Pendidikan bukan hanya persoalan akal semata, tetapi juga memberi bimbingan kepada perasaan-perasaan yang lebih tinggi, supaya mengarahkan diri pada akal demi mengatur nafsu-nafsu.
Ciri-ciri Karya-karya Plato
• Bersifat Sokratik
Dalam Karya-karya yang ditulis pada masa mudanya, Plato selalu menampilkan kepribadian dan karangan Sokrates sebagai topik utama karangannya.
• Berbentuk dialog
Hampir semua karya Plato ditulis dalam nada dialog. Dalam Surat VII, Plato berpendapat bahwa pena dan tinta membekukan pemikiran sejati yang ditulis dalam huruf-huruf yang membisu Oleh karena itu, menurutnya, jika pemikiran itu perlu dituliskan, maka yang paling cocok adalah tulisan yang berbentuk dialog.


• Adanya mite-mite
Plato menggunakan mite-mite untuk menjelaskan ajarannya yang abstrak dan adiduniawi
Verhaak menggolongkan tulisan Plato ke dalam karya sastra bukan ke dalam karya ilmiah yang sistematis karena dua ciri yang terakhir, yakni dalam tulisannya terkandung mite-mite dan berbentuk dialog.

Menurut Plato pendidikan direncanakan dan diprogram menjadi empat tahap dengan tingkat usia:
1. Tahap yang pertama yaitu pendidikan anak-anak dari umur 10 tahun ke atas menjadi urusan negara supaya mereka terlepas dari pengaruh orang tuanya. Dasar yang utama bagi pendidikan anak-anak ialah gymnastic (senam) dan musik. Tetapi gymnastic didahulukan. Gymnastic menyehatkan badan dan pikiran. Pendidikan harus menghasilkan manusia yang berani yang diperlukan bagi calon penjaga. Disamping itu mereka diberikan pelajaran membaca, menulis dan berhitung.
2. Tahap yang kedua yaitu pendidikan anak-anak berumur 14-16 tahun, yaitu diajarkan musik dan puisi serta megarang bersajak. Musik menanamkan jiwa manusia perasaan yang halus, budi yang halus. Karena dengan musik jiwa kenal akan harmoni dan irama. Kedua-duanya adalah landasan yang baik untuk menghidupkan rasa keadilan. Tetapi dalam pendidikan musik harus dijauhkan dengan lagu-lagu yang melemahkan jiwa serta yang mudah menimbulkan nafsu buruk, begitu juga tentang puisi. Puisi yang merusak moral disingkirkan. Pendidikan musik dan gymnastic harus sama dan seimbang.
3. Tahap yang ketiga yaitu pendidikan anak-anak dari umur 16-18 tahun, anak-anak yang menjelang dewasa diberi pelajaran matematik untuk mendidik jalan pikirannya. Disamping itu diajarkan pula kepada mereka dasar-dasar agama dan adab sopan supaya dikalangan mereka tertanam rasa persatuan. Plato mengatakan bahwa suatu bangsa tidak akan kuat kalau ia tidak percaya Tuhan. Seni yang memurnikan jiwa dan perasaan tertuju kepada yang baik dan yang indah.
4. Tahap yang keempat yaitu masa pendidikan dari umur 18-20 tahun, pemuda mendapat pendidikan militer. Pada umur 20 tahun diadakan seleksi yang pertama. Murid-murid yang maju dalam ujian itu mendapat didikan ilmiah yang mendalam bentuk yang lebih teratur. Pendidikan otak jiwa dan badan sama beratnya. Setelah menerima pendidikan ini 10 tahun lamanya datanglah seleksi yang kedua yang syaratnya lebih berat dan caranya lebih teliti dari seleksi yang pertama. Yang gagal dapat diterima sebagai pegawai negeri. Yang diterima dan sedikit jumlahnya dapat meneruskan pelajarannya lima tahun lagi dan dididik dalam ilmu pengetahuan tentang adanya. Setelah tamat pelajaran itu, mereka dapat menyandang jabatan yang lebih tinggi. Kalau mereka setelah 15 tahun bekerja dan mencapai umur 50 tahun, mereka diterima masuk dalam lingkungan pemerintah atau filosof. Pengetahuan dan pengalaman mereka dalam teori dan praktek sudah dianggap cukup untuk melaksanakan tugas yang tertinggi dalam negara yaitu menegakkan keadilan berdasarkan idea kebaikan.

Analisis Kritis
Filsafat ilmu merupakan suatu analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu. Konsep ini relevan dengan fakta yang terdapat dalam artikel, bahwa ide yang satu dihubungkan dengan ide yang lain, umpamanya seperti yang telah dikemukakan: ide bunga dikaitkan dengan ide bagus, ide api dihubungkan dengan ide panas, dan sebagainya. Di dalam dunia ide itu juga ada hierarki, umpamanya: ide anjing termasuk ide binatang menyusui, termasuk ide binatang, termasuk ide makhluk dan seterusnya. Dalam hubungannya dengan isi artikel yang dianalisis, kebenaran-kebenaran berupa fakta, kenyataan, konfirmasi serta penyajian yang logik telah disampaikan penulis dengan berdasarkan prinsip-prinsip filsafat ilmu. Filsafat ilmu telah menjadi dasar untuk menjembatani penulis dalam menuangkan ide, pendapat, dan fakta sehingga isi artikel tersebut dapat dijadikan suatu kajian ilmu yang bermanfaat bagi pembaca.
Hasil pemikiran Plato yang berkaitan dengan pendidikan sudah dimulai sejak tahun 377 SM, Plato sudah membagi program pendidikan menjadi 4 tahap Yaitu pendidikan anak-anak berumur 14-16 tahun, pendidikan anak-anak berumur 14-16 tahun, pendidikan anak-anak dari umur 16-18 tahun dan masa pendidikan dari umur 18-20 tahun. Dalam hal ini Plato sudah memahami mendidik seorang anak harus berdasarkan tingkat kognitifnya. Plato juga sudah berpikir bagaimana cara mendidik anak pada aspek kognitif /sikap dan berperilaku. Plato mengatakan bahwa suatu bangsa tidak akan kuat kalau ia tidak percaya Tuhan. Seni yang memurnikan jiwa dan perasaan tertuju kepada yang baik dan yang indah.
Sekitar tahun 387 SM dia kembali ke Athena, mendirikan perguruan di sana, sebuah akademi yang berjalan lebih dari 900 tahun. Plato menghabiskan sisa umurnya yang empat puluh tahun di Athena, mengajar dan menulis ihwal filsafat. Muridnya yang masyhur, Aristoteles, yang jadi murid akademi di umur tujuh belas tahun sedangkan Plato waktu itu sudah menginjak umur enam puluh tahun. Plato tutup mata pada usia tujuh puluh.
Menurut Plato ada dua macam budi yaitu : Pertama budi filosofi yang timbul dari pengetahuan dengan pengertian. Kedua budi biasa yang terbawa oleh kebiasaan orang banyak. Sikap hidup yang dipakai tidak terbit dari keyakinan diri sendiri melainkan disesuaikan kepada moral orang banyak dalam hidup sehari-hari. Negara menurut Plato adalah manusia dalam ukuran besar. Jadi seorang tidak dapat mengharapkan negar menjadi baik apabila ada beberapa orang kelakuannya tidak bertambah baik. Plato membagi penduduk dalam tiga golongan; golongan bawah, golongan tengah, dan golongan atas.
Buah tangan Plato atau tulisan Plato hampir rata-rata berbentuk dialog. Jumlahnya tidak kurang dari 34 buah. Belum dihitung lagi tulisan-tulisannya yang berupa surat dan puisi. Yang sulit ialah menentukan waktu dikarangnya. Semuanya ditulis dalam masa lebih dari setengah abad.

Daftar Pustaka
• Delfgaauw, Bernard. Sejarah Ringkas Filsafat Barat. Penerjemah: Soejono
• Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat I. Penerbit Kanisius: Yogyakarta. 2005
• http://aprillins.com/2009/267/filsafat-plato-ide-pengenalan-jiwa-dan-raga/
diundu 16 juni 2011. 16.17
• http://en.wikipedia.org/wiki/Plato, Plato. Diakses: 22 Maret 2009
• Soemargono. PT Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta. 1992. 
SEJARAH DAN TEMUAN PLATO








TUGAS INDIVIDU

Membuat Artikel
Mata Kuliah Filsafat Pendidikan


Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Drs. Khairinal, BA, M.Si









OLEH :
Sutrisno






PROGRAM STUDI
MAGISTER TEKNOLOGI PENDIDIKAN ( MTP )
PASCASARJANA UNIVERSITAS JAMBI
JUNI, 2011

Kamis, 16 Juni 2011

MODEL PENELITIAN YURISPRUDENSIAL

MODEL PENELITIAN YURISPRUDENSIAL


I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keberagaman dalam masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama dan budaya menuntut setiap anggota masyarakat untuk hidup berdampingan dan saling menghargai keberbedaan baik dalam masalah yang berhubungan dengan intelektual maupun emosional. Perbedaan pandangan dalam anggota masyarakat terhadap sebuah isu yang berkembang dipengaruhi antara lain oleh pendidikan, cara berpikir, budaya dan kepentingan masing-masing individu. Perbedaan ini harus disikapi dengan baik oleh masing-masing anggota masyarakat tanpa harus memaksakan sikapnya kepada orang lain.
Didalam mayarakat yang demokratis terdapat beragam posisi dengan menghargai isu dan kelompok yang mendukung posisi tersebut sehingga dituntut untuk bernegosiasi. Sebuah kemajemukan merupakan hal penting dalam sebuah masyarakat bebas dan berimplikasi pada perbedaan dalam masyarakat dan sub-sub masyarakat yang salaing menghargai satu dengan lain dan memperbesar komunikasi diantara mereka. Komunikasi yang baik dapat terjalin antara anggota masyarakat, jika anggota masyarakat mampu mengambil sikap disertai argumentasi yang rasional dan logis sehingga mampu mempertahankan konsistensi sikap yang diambil.

1.2. Rumusan Masalah
Siswa sebagai anggota masyarakat dituntut mempunyai kemampuan untuk menghargai perbedaan pandangan dan sikap pada sebuah isu yang berkembang dalam masyarakat. Untuk kepentingan tersebut diperlukan sebuah model pembelajaran dalam kelas untuk mendidik dan melatih siswa untuk mempertahankan sikap dengan argumentasi yang cukup sehingga konsisten dalam mempertahankan pendapat dan sikap tersebut. Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana diskripsi model pembelajaran Penelitian Yurisprudensial, aplikasi model Penelitian Yurisprudensial, analisis kritis penerapan dan kelebihan serta kekurangan model Penelitian Yurisprudensial dalam pembelajaran.

1.3. Tujuan Penulisan
1. Memahami diskipsi model Penelitian Yuriprudensial melalui sintakmatik, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung, dampak instrusional dan dampak pengiring.
2. Mengaplikasikan model Penelitian Yurisprudensial dalam pembelajaran
3. Menganalisis kritis model Penelitian Yurisprudensial


II. PEMBAHASAN
2.1. Model Penelitian Yurisprudensial
Model Penelitian Yurisprudensial dipelopori oleh Donal Oliver dan James P. Shaver dari Harvard yang didasari pada pemahaman bahwa setiap orang berbeda pandangan dan prioritas satu sama lain dengan nilai sosial saling berhadapan. Untuk memecahkan masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan pandangan masyarakat, setiap anggota masyarakat dituntut untuk mampu berbicara dan bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan.
Pendidikan harus mampu menghasilkan individu yang mampu mengatasi konflik perbedaan dalam berbagai hal. Model pembelajaran ini membantu siswa untuk belajar berpikir sistematis tentang isu-isu sosial membantu siswa berpartisipasi dalam mendefinisikan ulang nilai-nilai sosial tersebut, sehingga siswa peka terhadap permasalahan sosial, berani mengambil sikap, mempertahankan sikap tersebut dengan argumentasi yang relevan dan valid. Siswa juga dituntut bisa menerima atau menghargai sikap orang lain yang mungkin berbeda dan bertentangan dengan sikapnya.
Sebelum mengambil sikap siswa harus mempunyai pengetahuan dibidang sejarah, sosiologi, ekonomi dan politik. Sehingga bidang kajian yang tepat untuk model pembelajaran Penelitian Yurisprudensial adalah konflik rasial, etnis, ideologi, keagamaan, keamanan, konflik antar golongan, ekonomi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan dan keamanan nasional.

2.2. Sintakmatik
Model Penelitian Yurisprudensial memiliki enam tahap dalam pembelajaran (Joyce dan Weil, 1986) yaitu:
1. Pengenalan terhadap kasus
a. Guru memperkenalkan kasus kepada siswa atau isu terbaru dengan bercerita, memutar film atau menggambarkan kejadian hangat yang terjadi dalam masyarakat.
b. Guru mengkaji ulang data yang menggambarkan kasus.
2. Mengidentifikasi kasus
Siswa memsisntesis fakta kedalam isu yang dihadapi, mengaitkan dengan isu umum dan mengidentifikasi nilai-nilai yang terlibat.
3. Menetapkan posisi
Siswa diminta untuk mengambil posisi mengenai isu tersebut dan menyatakan sikap menerima atau menolak.
4. Mengeksplorasi contoh dan argumentasi terhadap sikap
Siswa diminta menggali lebih dalam sikapnya dengan meneksplorasi contoh dengan memberikan argumen logis dan rasional. Guru memberikan pertanyaan-pertanyaan konfrontatif kepada siswa tentang sikapnya. Siswa diuji konsistensi sikapnya dengan mempertahankan sikap dengan argumennya.
5. Menguji posisi
Jika argumen kuat, logis dan rasional maka siswa akan mempertahankan sikapnya (konsisten) dan posisi siswa dapat berubah (inkonsisten) jika argumen tidak kuat.
6. Menguju asumsi
Guru mendiskusikan apakah argumentasi yang digunakan untuk mendukung sikap relevan atau valid.



2.3. Sistem Sosial
Kerangka kerja Yurisprudensial dibangun dengan asumsi akan ada dialog hangat, membuat situasi kurang dan lebih demokratis dengan pandangan kritis masing-masing dan pemikiran yang setara dan juga subjek sama-sama teliti. Iklim sosial akan terjadi untuk analisis kritis terhadap nilai yang hanya mungkin terbuka. Disinilah peran guru untuk menekankan jalannya dialog dengan enam operasional yang memeinkan peran memimpin dan bertanggungjawab menjadikan debat solid dan isu dieksplorasi secara baik.


MODEL PENELITIAN YURISPRUDENSIAL

KEGIATAN GURU LANGKAH POKOK KEGIATAN SISWA

- Perkenalkan Bahan
- Review data yang


- Ciptakan suasana yang menantang


- Ajukan pertanyaan nilai




- Minta contoh dan alasannya



- Minta satu pilihan nilai



- Ajukan variasi pelacakan
























- Temukan dan pilih suatu kasus


- Kaitkan fakta dengan
- Kasus Rumuskan satu
- Identifikasi konflik nilai

- Jajaki berbagai posisi nilai
- Antisipasi konsekuensi setiap posisi


- Cari satu posisi yg mendukung posisi yg dipilih
- Beri argumen atas pilihan nilai

- Nyatakan satu posisi nilai
- Beri penilaian atas posisi tersebut

- Kajian kesahihan posisi Nilai yang dipilih


2.4. Prinsip Reaksi
Guru menjamin iklim intelektual dalam diskusi sehingga semua pandangan yang diungkapkan siswa dihormati oleh siswa lain. Guru memelihara kekuatan intelektual dalam debat secara kontinu yang menekankan pada enam langkah kerangka Yurisprudensial.

2.5. Sistem Pendukung
Dua jenis pendukung diperlukan dalam model pembelajaran Yurisprudensial. Guru meminta siswa untuk mengidentifikasi informasi yang difokuskan pada situasi masalah. Akses lain mengkondisikan siswa belajar nilai dan memiliki identifikasi etika dan posisi hukum yang dapat dibawa untuk mendukung dalam diskusi.

2.6. Dampak Instruksional dan Pengiring
Model pembelajaran Yurisprudensial dirancang untuk mengajarkan secara langsung, Komitmen terhadap peranan orang lain dan kemampuan untuk berdialog. Secara tidak langsung mempunyai kemampuan menganalisis isu-isu sosial, menghargai pluralisme, memahami fakta-fakta masalah sosial dan kemampuan berpartisipasi dan kesediaan melakukan tindakan sosial.
Untuk lebih jelasnya dampak instruksional dan pengiring dapat dilihat pada diagram berikut:



















Ket :
Dampak instruksional

Dampak pengiring


3. ANALISIS KRITIS
Model Penelitian Yurisprudensial (lihat lampiran) menuntut guru agar kreatif dan inovatif terhadap isu yang berkembang dalam masyarakat dan mengaitkannya kedalam proses belajar. Seseorang guru harus menggali wawasan yang cukup dan mengambil posisi terlebih dahulu dengan argumentasi yang cukup. Pada saat dikelas dia akan mudah memberikan pertanyaan konfrontatif begitu posisi siswa telah ditetapkan.
Seorang guru seharusnya mempersiapkan pertanyaan konfrotatif sesuai dengan isu yang akan didialogkan dalam kelas sehingga dialog terjadi secara alami dan tidak terkesan kaku. Strategi belajar ini menuntut dialog interaktif antara guru dengan siswa untuk mengeksplorasi ranah publik yang kontroversial sehingga dimungkinkan terjadi dialog hangat yang bisa mengarah ke debat kusir. Disinilah peran guru dituntut untuk mengembangkan iklim intelektual dalam debat.
Untuk mengubah model pembelajaran dari ceramah yang tidak menuntut keaktifan siswa ke model Yurisprudensial yang menuntut siswa aktif, akan menyulitkan guru pada awalnya karena tidak biasa dalam menyusun persiapan dan tindakan di kelas. Siswa juga sulit mengutarakan pendapat pada awalnya, dan akan menjadi kebiasaan berpendapat jika diterapkan setiap kali berkembang isu hangat didalam proses belajar.

Kelebihan model
1. Memotivasi siswa untuk aktif menganalisis sebuah kasus sehingga tidak mudah menentukan sikap dan menyimpulkan tanpa dasar.
2. Memotivasi siswa untuk berdebat secara aktif dan memberi argumen logis dan rasional, sehingga meningkatkan kemampuan verbal siswa.
3. Mengembangkan keterbukaan dan menghargai perbedaan pendapat.
4. Mengembangkan pengetahuan dan wawasan siswa tentang sebuah kasus.
5. Banyak isu sosial yang berkembang dalam masyarakat sehingga model ini mudah diterapkan untuk setiap kompetensi dasar.

Kelemahan model
1. Membutuhkan implementasi yang cukup lama karena perubahan metode pembelajaran sebelumnya yang tidak menuntut keaktifan siswa.
2. Sulit untuk mengarahkan argumentasi siswa pada awalnya karena tidak semua siswa mempunyai pengetahuan yang cukup sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi debat kusir.


III.PENUTUP
A. SIMPULAN
1. Karakteristik Model Penelitian Yurisprudensial adalah memiliki sintakmatik, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung dan dampak intruksional dan pengiring.
2. Dibutuhkan wawasan dan pengetahuan yang cukup untuk menganalisis isu baik oleh guru maupun siswa.
3. Dibutuhkan kreatifitas guru dalam membuat perencanaan dan tindakan dalam kelas
4. Model Penelitian Yurisprudensial memotivasi siswa untuk aktif, berani berdialog, berpendapat, bersikap, menganalisis sikap, berargumentasi dan menghargai perbedaan pendapat.

B. SARAN
1. Agar setiap kompetensi dasar dalam ilmu-ilmu sosial selalu mengimplementasikan isu-isu terkini kedalam pembelajaran di kelas.
2. Agar guru menggunakan model belajar Penelitian Yurisprudensial yang dipadukan dengan model lain dalam menganalisis isu dalam masyarakat dan meninggalkan model ceramah, agar lebih efektif dalam mencapai tujuan belajar.


DAFTAR PUSTAKA

Joyce, B. Dan Weil, M. 1972. Models of Teaching. New Jersey: Prentice-Hal. Inc.

Winataputra, U.S. 2001. Model-model Pembelajaran Inovatif. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional.

Uno, H.B. 2008. Model Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara

Http://hbis.wordpress.com/2010/05/29/ Model-model pembelajaran Penelitian Jurisprudensial.

Soekamto, T. dan Winataputra, U.S. 1996. Teori Belajar dan Model-model Pembelajaran. PAU-PAAI. Jakarta: Universitas Terbuka.






























Lampiran 1: Aplikasi model Penelitian Yurisprudensial

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

Mata Diklat : Pendidikan Kewarganegaraan
Kelas/ Semester : X / 1
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit
Standar Kompetensi : Menampilkan Sikap Positif Terhadap Sistem Hukum dan Peradilan Nasional
Kompetensi Dasar : Menunjukkan sikap yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku
Indikator : Menganalisis macam-macam sanksi sesuai hukum yang berlaku

I. Tujuan Pembelajaran
- Siswa menganalisis macam-macam perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan sanksinya dengan tepat setelah diberi contoh dan penjelasan
- Siswa mengambil sikap dalam pro-kontra anggota masyarakat terhadap hukuman mati yang diberikan oleh pengadilan dengan baik setelah berdiskusi.

II. Materi Ajar
• Sikap yang sesuai dengan hukum
• Perbuatan-perbuatan yang sesuai dan yang bertentangan dengan hukum
• Contoh perbuatan yang melanggar hukum beserta sanksinya.

III. Model Pembelajaran
• Penelitian Yurisprudensial

IV. Model Pembelajaran
• Diskusi/ debat

A. Pertemuan Pertama
• Kegiatan Awal
- Mengecek kehadiran siswa
- Mengkondisikan kelas
- Menjelaskan tujuan pembelajaran dan lingkup materi yang akan dipelajari
- Pre test
- Memberikan apersepsi berupa berita ekskusi Trio Bomber Bali yaitu Amrozi, Imam Samudra dan Muklis telah dieksekusi pada pukul 12.13 WIB dengan cara ditembak oleh regu tembak Brimob Kabupaten Cilacap.
• Kegiatan Inti
1. Guru memperkenalkan kasus bom Bali dengan mengingatkan kembali memori siswa melalui ledakan bom Bali dan akibatnya.
2. Guru mengkaji ulang fakta-fakta serta menunjukkan guntingan-guntingan artikel koran tentang bom Bali, koran Bom Bali, pelaku, alasan pengeboman, komentar korban, komentar keluarga korban, komentar dunia internasional, proses penangkapan hingga keputusan mati oleh pengadilan, serta berita pro-kontra tentang keputusan pengadilan oleh masyarakat, negarawan, tokoh masyarakat dan tokoh agama.
3. Siswa diminta mensintesis fakta tentang bom Bali, pelaku bom, dan hukuman mati pelaku bom serta mengaitkan dengan nilai-nilai jihad dalam Agama Islam dan perampasan hak hidup atas terpidana mati. Guru memberikan pertanyaan yang konfrontatif atau menantang.
4. Siswa diminta untuk mengambil posisi mengenai hukuman mati yang diberikan kepada trio bomber Bali dan menyatakan sikap menerima atau menolak. Guru memberikan pertanyaan-pertanyaan konfrontatif terhadap posisi siswa.
5. Siswa diminta mengeksplorasi contoh dan argumentasi yang logis dan rasional terhadap sikap menolak atau menerima hukuman mati terhadap trio bomber Bali maupun kepada penerima hukuman mati lain. Guru memberikan pertanyaan yang konfrontatif kepada sikap siswa untuk menguji konsistensi sikapnya.
6. Siswa tetap mempertahankan untuk mendukung atau menolak hukuman mati terhadap terpidana mati bom Bali (konsisten) atau akan berubah sikap (inkonsisten) jika argumen tidak kuat yang diberikan pada tahap keempat.
7. Guru memberikan pertanyaan yang menantang untuk melihat relevansi argumentasi yang digunakan untuk mendukung sikap mendukung atau menolak hukuman mati terhadap terpidana mati bom Bali.

• Kegiatan Akhir
- Siswa diminta merangkum semua hal yang berkaitan dengan Pelajaran
- Guru menyimpulkan materi dan kegiatan pelajaran
- Guru memberikan tugas untuk dikerjakan di rumah
- Pos test

V. Alat dan Sumber Pembelajaran
• Sumber :
- UUD 1945
- KUHP
- Modul
- Buku paket yang sesuai
• Bahan :
- CD Film
- Kliping berita
• Alat :
- Laptop
- LCD

VI. Hasil Penilaian
a. Teknik: tertulis
b. Bentuk instrumen : Essay
c. Instrumen: apakah hukuman mati melanggar HAM?
Mengetahui, Muaro Jambi, ...............................
Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran



....................... .................................
NIP. NIP.

Minggu, 24 April 2011

PLN Segera Bangun Ratusan Pembangkit Listrik Tenaga Surya

Indonesia bagian timur pada tahun ini.

Pembangunan pembangkit listrik ini bertujuan untuk mempercepat akses masyarakat terhadap listrik. "Jika menunggu jaringan reguler, butuh waktu lama," kata Direktur Operasi Indonesia Timur PLN Vicker Sinaga, Jumat (8/4), dalam jumpa pers, di kantor Pusat PT PLN, Jakarta.

Saat ini daftar tunggu sambungan listrik di kawasan timur masih panjang. Untuk tahun ini, PLN menargetkan 1,1 juta pelanggan di timur Indonesia, 370.000 pelanggan di antaranya akan dialiri listrik dari pembangkit-pembangkit listrik tenaga surya.

PLN akan membangun 124 pembangkit tenaga surya di Indonesia bagian timur,15 lokasi di 15 kabupaten di Papua dan Papua Barat dengan total daya 4.500 kilo Watt Peak (kWP). Perseroan itu juga akan membangun 109 pembangkit tenaga surya di 100 pulau yang tersebar di daerah Papua, Papua Barat, Maluku, dan NTT dengan total kapasitas 18.150 kWp

Untuk sistem pembangkit listrik tenaga surya mandiri, biaya penyambungan Rp 3,5 juta per pelanggan dan itu ditanggung PLN. Sedangkan pelanggan wajib membayar uang jaminan Rp 500.000 dan biaya berlangganan Rp 35.000 per bulan.

"Setiap pelanggan dapat tiga lampu super ekstra hemat energi (SEHEN) 2-3 watt. Lebih murah kan jika dibandingkan pakai lampu petromax yang butuh beli minyak tanah Rp 90.000 per bulan," kata Vicker.

Menurut Sekretaris Eksekutif Direktur Operasi Indonesia Timur PLN Martono, saat ini pembangunan ratusan PLTS itu baru tahap penyiapan dokumen. "Dalam waktu dekat akan tender. Proses pengadaan barang dan pembangunan konstruksi diperkirakan butuh waktu lima bulan," ujarnya menjelaskan. (Evy Rachmawati)
kOMPAS.COM

Kamis, 21 April 2011

SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA HAKEKAT, KONSEP, RUANG LINGKUP DAN SASARAN PENDIDIKAN

SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA
HAKEKAT, KONSEP, RUANG LINGKUP DAN SASARAN PENDIDIKAN

Oleh : Sutrisno


A. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pendidikan menduduki posisi penting dalam pembangunan suatu bangsa. Pendidikan berpengaruh pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang sangat menentukan nasib bangsa.
Dunia pendidikan tidaklah sebatas mengetahui ilmu dan memahaminya, akan tetapi dalam dunia pendidikan sangat berhubungan dengan dunia luar yang nyata. Pendidikan terdiri dari berbagai elemen yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan yang diharapkan bersama, dari hal itu dapat disebut bahwa pendidikan sebagai suatu sistem
Pendidikan sebagai suatu sistem tidak dapat dipisahkan dengan lingkungan baik fisik maupun makhluk hidup yang lain, karena pelajaran tidak hanya didapat dari pelajaran sekolah ataupun lembaga pendidikan formal, namun pendidikan juga membutuhkan pelajaran dari alam atau lingkungan sekitar.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian sistem pendidikan
2. Pendidikan Sebagai Suatu Sistem
3. Pengertian Pendidikan Naional
4. Pendidikan Nasional Sebagai Suatu Sistem

C. PEMBAHASAN
1. Sistem Pendidikan di Indonesia
1.1. Pengertian Sistem
Pengertian sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma) yaitu suatu kesatuan yang terdiri dari atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi. Istilah ini sering dipergunakan untuk menggambarkan suatu set entitas yang berinteraksi, di mana suatu model matematika seringkali bisa dibuat (Darmoyo, 2008).
Sistem juga merupakan kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan yang berada dalam suatu wilayah serta memiliki item-item penggerak, contoh umum misalnya seperti negara. Negara merupakan suatu kumpulan dari beberapa elemen kesatuan lain seperti provinsi yang saling berhubungan sehingga membentuk suatu negara dimana yang berperan sebagai penggeraknya yaitu rakyat yang berada dinegara tersebut.
Dalam hal lembaga atau organisasi persekolahan, sistem dapat berarti elemen di sekolah yang saling berhubungan, yang melakukan kegiatan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi di dalam sekolah yang bertujuan untuk memperoleh satu kesamaam informasi, keputusan bersama, pendapat, tujuan dan sasaran dalam membangun kehidupan sekolah secara utuh dan menyeluruh. Elemen-elemen yang ada disekolah meliputi: (1) Kepala Sekolah, (2) Wakil Kepala Sekolah, (3) Program Keahlian, (4) Bengkel atau Laboratorium, (5) Dewan Guru, (6) Wali Kelas, (7) Siswa, (8) Orang tua Siswa, (9) Tata Usaha, dan (10) Komite Sekolah. Diharapkan seluruh elemen tersebut mempunyai kesamaam informasi, keputusan, pendapat, tujuan dan sasaran dalam menjalankan sistem kehidupan disekolah secara utuh (Darmoyo, 2008).
Dalam pandangan lain disebutkan bahwa sistem adalah suatu kebulatan keseluruhan yang kompleks atau terorganisir; suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan/keseluruhan yang kompleks atau utuh (Tatang M. Amirin, 1992:10).
Sistem merupakan himpunan komponen yang saling berkaitan yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai suatu tujuan (Tatang Amirin, 1992:10).
Sistem merupakan sehimpunan komponen atau subsistem yang terorganisasikan dan berkaitan sesuai rencana untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Tatang Amirin, 1992:11).
1.2. Pendidikan Sebagai Suatu Sistem
Pendidikan merupakan suatu usaha untuk mencapai suatu tujuan pendidikan. Suatu usaha pendidikan menyangkut tiga unsur pokok yaitu unsur masukan, unsur proses usaha itu sendiri, dan unsur hasil usaha

Masukan Proses Usaha Keluaran atau Hasil

Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan (1979) menjelaskan bahwa pendidikan merupakan suatu sistemyang mempunyai unsur-unsur tujuan sasaran pendidikan, peserta didik, pengelola pendidikan, struktur atau jenjang, kurikulum dan pasilitas. Setiap sistem pendidikan ini saling mempengaruhi.

PH Combs (1982) mengemukakan dua belas komponen pendidikan sebagai berikut:
a. Tujuan dan Prioritas adalah fungsi mengarahkan kegiatan. Hal ini merupakan informasi apa yang hendak dicapai oleh sisitem pendidikan dan urutan pelaksanaanya
b. Peserta didik adalah fungsinya belajar diharapkan peserta didik mengalami proses perubahan tingkah laku sesui dengan tujuan sistem pendidikan
c. Manajemen atau pengelolan adalah fungsinya mengkoordinasi, mengarahkan dan menilai sistem pendidikan
d. Struktur dan jadwal waktu adalah mengatur pembagian waktu dan kegiatan
e. Isi dan bahan pengajaran adalah mengambarkan luas dan dalamnya bahan pelajaran yang harus dikuasai peserta didik.
f. Guru dan pelaksanaan adalah menyediakan bahan pelajaran dan menyelengarakan proses belajar untuk peserta didik
g. Alat bantu belajar adalah fungsi membuat proses pendidikan yang lebih menarik dan berpariasi
h. Fasilitas adalah fungsinya untuk tempat terjadinya proses pembelajaran
i. Teknologi adalah fungsi memperlancar dan meningkatkan hasil guna proses pendidikan
j. Pengawasan mutu adalah fungsi membina peraturan dan standar pendidikan
k. Penelitian adalah fungsi memperbaiki dan mengembangkan ilmu pengetahuan
l. Biaya adalah fungsinya memperlancar proses pendidkan
Menurut UU republik Indonesia no.2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui bimbingan , pengajaran, atau latihan bagi peranan nya dimasa yang akan datang.
Menurut Zahar Idris (1987) pendidikan nasiona lsebagai suatu sistem adalah karya manusia`yang terdiri dari komponen-komponen yang mempunyai hubungan fungsional dalam rangka membantu terjadinya proses transpormasi atau perobahan tingkah laku seseorang
1.3. Pengertian Pendidikan Nasional
Adapun pengertian pendidikan dari segi istilah kita dapat merujuk kepada berbagai sumber yang diberikan para ahli pedidikan. Dalam Undang-Undang sistem pendidikan Nasional (Pasal 1 UU RI No. 20 th. 2003) dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
Menurut M.J. Langeveld (1999) pendidikan adalah memberi pertolongan secara sadar dan segaja kepada seorang anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju kearah kedewasaan dalam arti dapat berdiri dan bertanggung jawab susila atas segala tindakan-tindakannya menurut pilihannya sendiri. Ki Hajar Dewantoro mengatakan bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), fikiran (intellect) dan dan tumbuh anak yang antara satu dan lainnya saling berhubungan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras.
John Dewey mewakili aliran filsafat pendidikan modern merumuskan Education is all one growing; it has no end beyond it self, pendidikan adalah segala sesuatu bersamaan dengan pertumbuhan, pendidikan sendiri tidak punya tujuan akhir di balik dirinya. Dalam proses pertumbuhan ini anak mengembangkan diri ketingkat yang makin sempurna atau life long Education, dalam artian pendidikan berlangsung selama hidup. Pendidikan merupakan gejala insani yang fundamental dalam kehidupan manusia untuk mengatarkan anak manusia kedunia peradaban. Juga merupakan bimbingan eksistensial manusiawi dan bimbingan otentik, supaya anak mengenali jati dirinya yang unik, mampu bertahan memiliki dan melanjutkan atau mengembangkan warisan sosial generasi terdahulu, untuk kemudian dibangun lewat akal budi dan pengalaman (Kartono, 1997:12).
Noeng Muhadjir merumuskan pendidikan sebagai upaya terprogram dari pendidik membantu subyek didik berkembang ketingkat yang normatif lebih baik dengan cara baik dalam konteks positif (Muhadjir, 1993:6).
Sementara Zamroni memberikan definisi pendidikan adalah suatu proses menanamkan dan mengembangkan pada diri peserta didik pengetahuan tentang hidup, sikap dalam hidup agar kelak ia dapat membedakan barang yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, sehingga kehadirannya ditengah-tengah masyarakat akan bermakna dan berfungsi secara optimal (Zamroni, 2001:87). Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan merupakan usaha atau proses yang ditujukan untuk membina kualitas sumber daya manusia seutuhnya agar ia dapat melakukan peranya dalam kehidupan secara fungsional dan optimal. Dengan demikian pendidikan pada intinya menolong di tengah-tengah kehidupan manusia. Pendidikan akan dapat dirasakan manfaatnya bagi manusia.
Pendidikan pada akhirnya adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sejumlah batasan yang lebih spesifik tentang pendidikan dapat dilihat di bawah ini:
Pendidikan sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai budaya tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Ada tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab, dan lain-lain.
Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagi suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Proses pembentukan pribadi melalui 2 sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka yang sudah dewasa dan bagi mereka yang sudah dewasa atas usaha sendiri.
Pendidikan sebagai penyiapan warganegara, diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik. Pendidikan sebagai Penyiapan Tenaga Kerja Pendidikan sebagai penyimpana tenaga kerja diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar utuk bekerja. Pembekalan dasar berupa pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan kerja pada calon luaran. Ini menjadi misi penting dari pendidikan karena bekerja menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia.
Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan.
Proses pendidikan merupakan kegiatan mobilitas segenap komponen pendidikan oleh pendidik terarah kepada pencapaian tujuan pendidikan, Kualitas proses pendidikan menggejala pada dua segi, yaitu kualitas komponen dan kualitas pengelolaannya , pengelolaan proses pendidikan meliputi ruang lingkup makro, meso, mikro. Adapun tujuan utama pemgelolaan proses pendidikan yaitu terjadinya proses belajar dan pengalaman belajar yang optimal.
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik ialah :
1. Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan yang unik.
2. Individu yang sedang berkembang.
3. Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi. Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri.
Pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkung yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masayarakat. Sebab itu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan ialah orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran, latihan, dan masyarakat.
C. Penutup
1. Kesimpulan
1.1. Sistem adalah totalitas himpunan bagian-bagian yang satu sama lain berinteraksi dan bersama-sama untuk mencapai satu tujuan atau sekelompok tujuan dalam suatu lingkungan tertentu.
1.2. Sistem pendidikan adalah seperangkat unsur yang terdapat dalam pendidikan yang saling terkait sehingga membentuk satu kesatuan dalam mencapai tujuan bersama.
1.3. Komponen pendidikan menurut P.H. Combs yaitu: tujuan dan prioritas, peserta didik, manajemen atau pengelolaan, struktur dan jadwal waktu, isi dan bahan pengajaran, guru dan pelaksana, alat bantu belajar, fasilitas, teknologi, pengawasan mutu, penelitian, dan biaya.
1.4. Sistem pendidikan pada hakikatnya adalah seperangkat sarana yang dipolakan untuk membudayakan nilai-nilai budaya masyarakat yang dapat mengalami perubahan-perubahan bentuk dan model sesuai dengan tuntutan kebutuhan hidup masyarakat dalam rangka mengejar cita-cita hidup yang sejahtera lahir maupun batin. Pendidikan Nasional adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.

2. Saran
Dengan segala keterbatasan kami, demikianlah makalah ini kami buat. Kesempurnaan hanyalah ada pada Allah SWT, oleh karena itu sudah pasti makalah ini memerlukan kritik dan saran yang membangun dari pembaca yang budiman demi lebih baiknya makalah setelah ini. Selamat membaca dan semoga bermanfaat. Amin.

D. DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M. 2003. Ilmu Perbandingan Pendidikan. Jakarta: Golden Terayon Press.
Hamalik, Oemar. 2008. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Idris, Zahara dan Lisma Jamal. 1992. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT Gramedia Widia Sarana.
Ihsan, Fuad. 2008. Dasar Dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Peran Guru terhadap Pendidikan karakter di Sekolah

Peran Guru terhadap Pendidikan karakter di Sekolah

1. Pendahuluan
Lembaga pendidikan dan guru dewasa ini dihadapkan pada tuntutan yang semakin berat, terutama untuk mempersiapkan peserta didik agar mampu menghadapi berbagai dinamika perubahan yang berkembang dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi tidak hanya berkaitan dengan dinamika perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga menyentuh perubahan dan pergeseran aspek nilai dan moral dalam kehidupan masyarakat. Contoh, dekadensi moral dan karakter buruk yang ditunjukkan siswa sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam dunia pendidikan. Kekerasan yang dilakukan pelajar kian memprihatinkan, seperti aksi premanisme yang dilakukan oleh pelajar yang tergabung dalam Geng Nero (Nekoneko dikeroyok), vidio porno yang dilakukan olah pelajar ( jambi ekspres, 24 maret 2011) dan banyak lagi perilaku kekerasan lainnya. Geng Nero barangkali hanya salah satu potret dari sekian banyak geng yang ada di lingkungan masyarakat yang dilakukan oleh pelajar. Kejadian ini mungkin juga pernah dialami oleh sekolah-sekolah lain, namun tidak terekspos media massa. Selain perilaku kekerasan, juga isu-isu moralitas di kalangan remaja, seperti penggunaan narkotika, pornografi, perkosaan, perampasan, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas.
Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana karena tindakan-tindakan tersebut telah menjurus kepada tindakan kriminal. Banyak orang berpandangan bahwa kondisi demikian diduga berawal dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Pendidikanlah yang sesungguhnya paling besar memberikan kontribusi terhadap situasi ini. Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, bisa jadi salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual semata. Aspek-aspek yang lain yang ada dalam diri siswa, yaitu aspek afektif dan kebajikan moral kurang mendapatkan perhatian. Koesoema (Kompas, 1 Desember 2009) menegaskan bahwa integrasi pendidikan dan pembentukan karakter merupakan titik lemah kebijakan pendidikan nasional. Sekolah dan para guru memegang peran dan tanggungjawab yang lebih besar dalam pembelajaran siswa, tidak hanya ditunjukkan untuk memenuhi harapan agar kinerja siswa berhasil dalam aspek kognitif yang tercermin dari hasil tes dan tingkat kelulusan lebih tinggi dalam ujian nasional (UN), tetapi harus menekankan pada aspek afektif. Dengan kata lain, peningkatan dan penekanan pada aspek kognitif harus diimbangi dengan upaya peningkatan dalam aspek pengembangan afektif siswa atau dalam arti pendidikan karakter dan kebajikan moral juga tidak boleh diabaikan. Keadaan ini nampaknya sudah dipahami dan disadari pemerintah, dalam hal ini oleh Menteri Pendidikan Nasional, Prof. Dr. Muhammad Nuh. Mendiknas menyatakan kerisauan dan kerinduan banyak pihak untuk kembali memperkuat pendidikan karakter dan budaya bangsa. Pemerintah bertekad untuk memperkuat karakter dan budaya bangsa tersebut melalui pendidikan di sekolah (Kompas, 15 Januari, 2010).
Ketika sekolah didirikan, salah satu misi utamanya adalah untuk mengajar kebajikan moral (Mondale & Patton, 2001; Mulkey, 1997). Banyaknya penyimpangan moral di kalangan anak anak dan remaja saat ini menjadikan tugas guru dan perancang bidang pendidikan moral sangat rumit. Menurut Koesoema (2009:14), di tengah perubahan tata nilai dalam masyarakat yang begitu cepat, guru tetap dituntut untuk menjaga integritas dasarnya sebagai pendidik karakter. Artinya, dalam kondisi tersebut guru dituntut dan tetap konsisten dapat menegakkan dan membangun moral dan karakter yang baik bagi para peserta didik. Guru diharapkan untuk mengajar dan mendisiplinkan siswa sehingga dapat menghormati otoritas dan bertanggung jawab dalam menyelesaikan pelajaran. Hingga dewasa ini, tampaknya harapan-harapan ini pada dasarnya tetap tidak berubah. Guru memiliki peran yang sangat besar dan berpengaruh dalam kehidupan peserta didik, oleh karenanya masyarakat masih tetap berharap para guru untuk menampilkan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai moral, seperti keadilan, kejujuran, dan mematuhi kode etik profesional. Sebuah kebajikan sosial dihargai secara sosial, sementara kebajikan moral, seperti kejujuran, dihargai secara moral. Menurut Lickona (1991), sekolah dan guru harus mendidik karakter, khususnya melalui pengajaran yang dapat mengembangkan rasa hormat dan tanggung jawab.
Peran Guru sebagai Model dalam Pembelajaran Karakter dan Kebajikan Moral. Dalam tugasnya sebagai pendidik dan pengajar, guru berinteraksi dengan siswa, sangat penting bagi para guru untuk melayani dan berperan sebagai model pengembang karakter dengan membuat penilaian dan keputusan profesional yang didasarkanpada kebajikan sosial dan moral. Koesoema (2009:134) menegaskan bahwa terlepas dari berbagai macam posisi yang disandangnya, sadar atau tidak, perilaku dan tindakan guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya merupakan wahana utama untuk pembelajaran karakter.
Seseorang yang berkarakter memiliki kebijaksanaan untuk mengetahui dan membedakan mana yang benar dan mana yang salah; jujur, dapat dipercaya, adil, hormat, dan bertanggung jawab; mengakui dan belajar dari kesalahan; dan berkomitmen untuk hidup menurut prinsip-prinsip ini. Lickona (1991) menunjukkan bahwa karakter adalah penjelasan fenomena universal dari orang-orang yang memiliki keberanian dan keyakinan untuk hidup dengan kebajikan moral. Karakter mencakup berbuat sesuatu menjadi lebih baik dan melakukan yang benar, sementara perilaku tidak etis merupakan antitesis karakter. Setiap kali siswa terjebak dalam permainan emosi, seperti melukai orang lain atau berperilaku curang untuk menang dalam suatu lomba atau pertandingan, tidak akan menjadi baik atau melakukan hal yang tidak benar. Demikian pula, jika siswa menyontek pada saat ujian atau menjiplak tulisan dari koran untuk mendapatkan nilai yang lebih baik, pada hakikatnya tidak memiliki karakter dan dasar moral yang esensial. Kajian-kajian ilmiah tentang perikalu tidak terpuji (amoral) yang dilakukan siswa dalam dunia pendidikan di Indonesia sangat terbatas. Namun, di negara-negara maju seperti di Amerika sudah sangat berkembang, survei nasional yang dilakukan oleh The Ethics of American Youth, dari Josephson Institute of Ethics (2006), diketahui bahwa perilaku siswa dalam jangka waktu 12 bulan, yaitu (a) 82% mengakui bahwa mereka berbohong kepada orangtua; (b) 62% mengakui bahwa mereka berbohong kepada seorang guru tentang sesuatu yang signifikan; (c) 33% menjiplak tugas dari internet; (d) 60% menipu selama pelaksanaan ujian di sekolah; (e) 23% mencuri sesuatu dari orang tua atau kerabat lainnya; (e) 19% mencuri sesuatu dari seorang teman, dan (f) 28% mencuri sesuatu dari toko.
Erosi karakter dan perilaku tidak terpuji yang menerpa siswa sebagaimana tersebut di atas merupakan gejala umum yang berlaku di mana-mana, termasuk di Indonesia. Sudah cukup banyak contoh dan perilaku tidak jujur yang dilakukan individu dalam dunia pendidikan, mulai dari siswa yang mencontek, menjiplak hasil karya orang lain tanpa menyertakan sumber, mencari- cari alasan untuk lari dari tanggung jawab atas tugas-tugas sekolah yang diberikan oleh guru (Koesoema, 2009:183). Kondisi ini menegaskan bahwa para guru yang mengajar mata pelajaran apa pun harus memiliki perhatian dan menekankan pentingnya pendidikan moral dan karakter pada para siswa. Namun di sisi lain perilaku tidak etis yang ditunjukkan oleh siswa tersebut bertolak belakang dengan tanggapannya yang mengakui dan percaya bahwa karakter itu penting. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (a) 98% berkata, "Sangat penting bagi saya untuk menjadi orang dengan karakter yang baik"; (b) 98% berkata, "Kejujuran dan kepercayaan sangat penting dalam hubungan pribadi"; (c) 97% berkata, "Ini penting bagi saya bahwa orang percaya padaku"; (d) 83% berkata, "Ini tidak layak untuk berbohong atau menipu karena bertentangan dengan karakter". Dalam laporan tersebut juga disimpulkan bahwa semakin meluas dan mendalam perilaku kontradiktif yang terjadi mencerminkan sikap sinis siswa itu sendiri dalam proses rasionalisasi dengan cara mengabaikan kebenaran penilaian etika dan perilaku yang dinyatakan bertentangan dengan keyakinan moral (Josephson Institute of Ethics, 2006). Siswa menyatakan bahwa karakter itu penting, tetapi di sisi lain berbohong, menipu, dan mencuri. Tulisan ini ingin mencoba mengkaji bahwa model perilaku berbudi luhur disekolah.
Berdasarkan uraian tentang latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana peran guru dalam pendidikan karakter bangsa disekolah ?
Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah memberikan pemahaman tentang peran guru terhadap pendidikan karakter bangsa di sekolah.
Adapun manfaatnya adalah :
1. Bagi sekolah, sebagai bahan masukan kepada kepala sekolah dan instansi pendidikan untuk lebih memperhatikan permasalahan-permasalahan akhlak dan budi pekerti siswa sehingga dalam perkembangan anak tersebut mampu menghadapinya dan menyelesaikannya sesuai yang diharapkan.
2. Bagi penulis, penelitian ini sebagai sarana untuk menerapkan kebenaran teori-teori yang ada dengan keadaan yang lebih nyata.
3. Bagi siswa, sebagai bahan masukan dan renungan bagi siswa untuk mengintrospeksi diri terhadap masalah yang dihadapinya, sehingga mampu menyelesaikan kesulitannya sendiri dan sanggup menghadapi tantangan hidup dan kehidupan yang semakin berat dan sangat komplek.

2. Pembahasan
2.1. Peran guru dalam pendidikan karakter
Guru atau pendidik memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Guru merupakan teladan bagi siswa dan memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan karakter siswa. Jika kita menengok kembali tugas guru yang luar biasa. Dalam UU Guru dan Dosen, UU no 14 tahun 2005, guru didefinisikan sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Lebih jauh Slavin (1994) menjelaskan secara umum bahwa performa mengajar guru meliputi aspek kemampuan kognitif, keterampilan profesional dan keterampilan sosial. Di samping itu, Borich (1990) menyebutkan bahwa perilaku mengajar guru yang baik dalam proses belajar-mengajar di kelas dapat ditandai dengan adanya kemampuan penguasaan materi pelajaran, kemampuan penyampaian materi pelajaran, keterampilan pengelolaan kelas, kedisiplinan, antusiasme, kepedulian, dan keramahan guru terhadap siswa.
WF Connell (1972) membedakan tujuh peran seorang guru yaitu (1) pendidik (nurturer), (2) model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar (learner), (5) komunikator terhadap masyarakat setempat, (6) pekerja administrasi, serta (7) kesetiaan terhadap lembaga.
Pernyataan diatas ditegaskan kembali oleh Oemar Hamalik, tugas dan tanggung jawab guru meliputi 11 macam, yaitu:guru harus menuntun murid-murid belajar, turut serta membina kurikulum sekolah, melakukan pembinaan terhadap diri anak (kepribadian, watak, dan jasmaniah), memberikan bimbingan kepada murid, melakukan diagnose atas kesulitan-kesulitan belajar dan mengadakan penilaian atas kemajuan belajar, menyelenggarakan penelitian, mengenal masyarakat dan ikut aktif di dalamnya, menghayati, mengamalkan, dan mengamankan pancasila, turut serta membantu terciptanya kesatuan dan persatuan bangsa dan perdamaian dunia, turut mensukseskan pembangunan, dan tanggung jawab meningkatkan professional guru.
Peran guru sebagai model atau contoh bagi anak. Setiap anak mengharapkan guru mereka dapat menjadi contoh atau model baginya. Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik guru, orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat, bangsa dan negara. Karena nilai nilai dasar negara dan bangsa Indonesia adalah Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu diresapi oleh nilai-nilai Pancasila.
Peranan guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam pengalaman belajar. Setiap guru harus memberikan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman lain di luar fungsi sekolah seperti persiapan perkawinan dan kehidupan keluarga, hasil belajar yang berupa tingkah laku pribadi dan spiritual dan memilih pekerjaan di masyarakat, hasil belajar yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial tingkah laku sosial anak. Kurikulum harus berisi hal-hal tersebut di atas sehingga anak memiliki pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dianut oleh bangsa dan negaranya, mempunyai pengetahuan dan keterampilan dasar untuk hidup dalam masyarakat dan pengetahuan untuk mengembangkan peserta didiki menjadi manusia yang berkarakter, berbudaya, dan berkarakter sesuai cita-cita UUD 1945 dan Pancasila.
Peran guru sebagai pelajar (leamer). Seorang guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan agar supaya pengetahuan dan keterampilan yang dirnilikinya tidak ketinggalan jaman. Pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai tidak hanya terbatas pada pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan tugas profesional, tetapi juga tugas kemasyarakatan maupun tugas kemanusiaan terutama yang berkaitan dengan pendidikan karakter, budaya dan moral.

2.2. Pengertian pendidikan karakter bangsa
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa Untuk mendapatkan wawasan mengenai arti pendidikan budaya dan karakter bangsa perlu dikemukakan pengertian istilah budaya, karakter bangsa, dan pendidikan. Pengertian yang dikemukakan di sini dikemukakan secara teknis dan digunakan dalam mengembangkan pedoman ini. Guru-guru Antropologi, Pendidikan Kewarganegaraan, dan mata pelajaran lain, yang istilah-istilah itu menjadi pokok bahasan dalam mata pelajaran terkait, tetap memiliki kebebasan sepenuhnya membahas dan berargumentasi mengenai istilah-istilah tersebut secara akademik.
Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk sosial menjadi penghasil sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi juga dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkannya. Ketika kehidupan manusia terus berkembang, maka yang berkembang sesungguhnya adalah sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni. Pendidikan merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik, sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial,budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila; jadi pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta didik melalui pendidikan hati, otak, dan fisik.
Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan adalah proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda dan juga proses pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang. Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.
Berdasarkan pengertian budaya, karakter bangsa, dan pendidikan yang telah dikemukakan di atas maka pendidikan budaya dan karakter bangsa dimaknai sebagaipendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif.
Menurut dasar pemikiran itu, pengembangan pendidikan budaya dan karakter sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang. Pengembangan itu harus dilakukan melalui perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan metode belajar serta pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah usaha bersama sekolah; oleh karenanya harus dilakukan secara bersama oleh semua guru dan pemimpin sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah.

2.3. Landasan pedagogik pendidikan karakter bangsa
Pendidikan adalah suatu upaya sadar untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Usaha sadar itu tidak boleh dilepaskan dari lingkungan peserta didik berada, terutama dari lingkungan budayanya, karena peserta didik hidup tak terpishkan dalam lingkungannya dan bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah budayanya. Pendidikan yang tidak dilandasi oleh prinsip itu akan menyebabkan peserta didik tercerabut dari akar budayanya. Ketika hal ini terjadi, maka mereka tidak akan mengenal budayanya dengan baik sehingga ia menjadi orang “asing” dalam lingkungan budayanya. Selain menjadi orang asing, yang lebih mengkhawatirkan adalah dia menjadi orang yang tidak menyukai budayanya.
Budaya, yang menyebabkan peserta didik tumbuh dan berkembang, dimulai dari budaya di lingkungan terdekat (kampung, RT, RW, desa) berkembang ke lingkungan yang lebih luas yaitu budaya nasional bangsa dan budaya universal yang dianut oleh ummat manusia. Apabila peserta didik menjadi asing dari budaya terdekat maka dia tidak mengenal dengan baik budaya bangsa dan dia tidak mengenal dirinya sebagai anggota budaya bangsa. Dalam situasi demikian, dia sangat rentan terhadap pengaruh budaya luar dan bahkan cenderung untuk menerima budaya luar tanpa proses pertimbangan (valueing). Kecenderungan itu terjadi karena dia tidak memiliki norma dan nilai budaya nasionalnya yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan pertimbangan (valueing).
Semakin kuat seseorang memiliki dasar pertimbangan, semakin kuat pula kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang menjadi warga negara yang baik. Pada titik kulminasinya, norma dan nilai budaya secara kolektif pada tingkat makro akan menjadi norma dan nilai budaya bangsa. Dengan demikian, peserta didik akan menjadi warga negara Indonesia yang memiliki wawasan, cara berpikir, cara bertindak, dan cara menyelesaikan masalah sesuai dengan norma dan nilai ciri ke-Indonesiaannya. Hal ini sesuai dengan fungsi utama pendidikan yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas, “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Oleh karena itu, aturan dasar yang mengatur pendidikan nasional (UUD 1945 dan UU Sisdiknas) sudah memberikan landasan yang kokoh untuk mengembangkan keseluruhan potensi diri seseorang sebagai anggota masyarakat dan bangsa.

2.4. Tujuan dan Fungsi pendidikan karakter bangsa
Tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:
1. Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;
2. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;
3. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa;
4. Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan
5. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).

Fungsi pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:
1. Pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa;
2. Perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan
3. Penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.

2.5. Pengembangan Nilai pendidikan karakter bangsa
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber berikut ini.
1. Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.
2. Pancasila: negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.
3. Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
4. Tujuan Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.

Berdasarkan keempat sumber nilai itu, teridentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai berikut ini.
Tabel 1.
Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

NILAI DESKRIPSI
1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5. Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6. Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9. Rasa Ingin Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10. Semangat Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11. Cinta Tanah Air
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12. Menghargai Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat/Komuniktif
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14. Cinta Damai
Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15. Gemar Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung-jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.


2.6 Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Melalui Integrasi Mata Pelajaran, Pengembangan Diri, dan Budaya Sekolah.

Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan (konselor) secara bersama-sama sebagai suatu komunitas pendidik dan diterapkan ke dalam kurikulum melalui hal-hal berikut ini.
1. Program Pengembangan Diri
Program pengembangan diri, perencanaan dan pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui pengintegrasian ke dalam kegiatan sehari-hari sekolah, yaitu melalui hal-hal berikut:
a. Kegiatan rutin sekolah
Kegiatan rutin merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Contoh kegiatan ini adalah upacara pada hari besar kenegaraan, pemeriksaan kebersihan badan (kuku, telinga, rambut, dan lain-lain) setiap hari Senin, beribadah bersama atau shalat bersama setiap dhuhur (bagi yang beragama Islam), berdoa waktu mulai dan selesai pelajaran, mengucap salam bila bertemu guru, tenaga kependidikan, atau teman.
b. Kegiatan spontan
Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang dilakukan secara spontan pada saat itu juga. Kegiatan ini dilakukan biasanya pada saat guru dan tenaga kependidikan yang lain mengetahui adanya perbuatan yang kurang baik dari peserta didik yang harus dikoreksi pada saat itu juga. Apabila guru mengetahui adanya perilaku dan sikap yang kurang baik maka pada saat itu juga guru harus melakukan koreksi sehingga peserta didik tidak akan melakukan tindakan yang tidak baik itu. Contoh kegiatan itu: membuang sampah tidak pada tempatnya, berteriak-teriak sehingga mengganggu pihak lain, berkelahi, memalak, berlaku tidak sopan, mencuri, berpakaian tidak senonoh. Kegiatan spontan berlaku untuk perilaku dan sikap peserta didik yang tidak baik dan yang baik sehingga perlu dipuji, misalnya: memperoleh nilai tinggi, menolong orang lain, memperoleh prestasi dalam olah raga atau kesenian, berani menentang atau mengkoreksi perilaku teman yang tidak terpuji.
c. Keteladanan
Keteladanan adalah perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan yang lain dalam memberikan contoh terhadap tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik untuk mencontohnya. Jika guru dan tenaga kependidikan yang lain menghendaki agar peserta didik berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa maka guru dan tenag kependidikan yang lain adalah orang yang pertama dan utama memberikan contoh berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai itu. Misalnya berpakaian rapi, datang tepat pada waktunya, bekerja keras, bertutur
kata sopan, kasih sayang, perhatian terhadap peserta didik, jujur, menjaga
kebersihan.
d. Pengkondisian
Untuk mendukung keterlaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa maka sekolah harus dikondisikan sebagai pendukung kegiatan itu. Sekolah harus mencerminkan kehidupan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang diinginkan. Misalnya, toilet yang selalu bersih, bak sampah ada di berbagai tempat dan selalu dibersihkan, sekolah terlihat rapi dan alat belajar ditempatkan teratur.
2. Pengintegrasian dalam mata pelajaran
Pengembangan nilai-nilai pendidikan budaya dan karakater bangsa diintegrasikan dalam setiap pokok bahasan dari setiap mata pelajaran. Nilai-nilai tersebut dicantumkan dalam silabus dan RPP. Pengembangan nilai-nilai itu dalam silabus ditempuh melalui cara-cara berikut ini:
a. Mengkaji Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada Standar Isi (SI) untuk menentukan apakah nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang tercantum itu sudah tercakup di dalamnya;
b. Menggunakan tabel 1 yang memperlihatkan keterkaitan antara SK dan KD dengan nilai dan indikator untuk menentukan nilai yang akan dikembangkan;
c. Mencantumkankan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam tabel 1 itu ke dalam silabus;
d. Mencantumkan nilai-nilai yang sudah tertera dalam silabus ke dalam RPP;
e. Mengembangkan proses pembelajaran peserta didik secara aktif yang memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan melakukan internalisasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku yang sesuai; dan
f. Memberikan bantuan kepada peserta didik, baik yang mengalami kesulitan untuk menginternalisasi nilai maupun untuk menunjukkannya dalam perilaku.



3. Budaya Sekolah
Budaya sekolah cakupannya sangat luas, umumnya mencakup ritual, harapan, hubungan, demografi, kegiatan kurikuler, kegiatan ekstrakurikuler, proses mengambil keputusan, kebijakan maupun interaksi sosial antarkomponen di sekolah. Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah tempat peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan sesamanya, pegawai administrasi dengan sesamanya, dan antaranggota kelompok masyarakat sekolah. Interaksi internal kelompok dan antarkelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral serta etika bersama yang berlaku di suatu sekolah. Kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian sosial, kepedulian lingkungan, rasa kebangsaan, dan tanggung jawab merupakan nilai-nilai yang dikembangkan dalam budaya sekolah. Pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa dalam budaya sekolah mencakup kegiatan-kegiatan yang dilakukan kepala sekolah, guru, konselor, tenaga administrasi ketika berkomunikasi dengan peserta didik dan menggunakan fasilitas sekolah.
Pembelajaran pendidikan budaya dan karakter bangsa menggunakan pendekatan proses belajar peserta didik secara aktif dan berpusat pada anak; dilakukan melalui berbagai kegiatan di kelas, sekolah, dan masyarakat.
1. Kelas, melalui proses belajar setiap mata pelajaran atau kegiatan yang dirancang sedemikian rupa. Setiap kegiatan belajar mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Oleh karena itu, tidak selalu diperlukan kegiatan belajar khusus untuk mengembangkan nilai-nilai pada pendidikan budaya dan karakter bangsa. Meskipun demikian, untuk pengembangan nilai-nilai tertentu seperti kerja keras, jujur, toleransi, disiplin, mandiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan gemar membaca dapat melalui kegiatan belajar yang biasa dilakukan guru. Untuk pegembangan beberapa nilai lain seperti peduli sosial, peduli lingkungan, rasa ingin tahu, dan kreatif memerlukan upaya pengkondisian sehingga peserta didik memiliki kesempatan untuk memunculkan perilaku yang menunjukkan nilai-nilai itu.
2. Sekolah, melalui berbagai kegiatan sekolah yang diikuti seluruh peserta didik, guru, kepala sekolah, dan tenaga administrasi di sekolah itu, direncanakan sejak awal tahun pelajaran, dimasukkan ke Kalender Akademik dan yang dilakukan seharihari sebagai bagian dari budaya sekolah. Contoh kegiatan yang dapat dimasukkan ke dalam program sekolah adalah lomba vocal group antarkelas tentang lagu-lagu bertema cinta tanah air, pagelaran seni, lomba pidato bertema budaya dan karakter bangsa, pagelaran bertema budaya dan karakter bangsa, lomba olah raga antarkelas, lomba kesenian antarkelas, pameran hasil karya peserta didik bertema budaya dan karakter bangsa, pameran foto hasil karya peserta didik bertema budaya dan karakter bangsa, lomba membuat tulisan, lomba mengarang lagu, melakukan wawancara kepada tokoh yang berkaitan dengan budaya dan karakter bangsa, mengundang berbagai narasumber untuk berdiskusi, gelar wicara, atau berceramah yang berhubungan dengan budaya dan karakter bangsa.
3. Luar sekolah, melalui kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan lain yang diikuti oleh seluruh atau sebagian peserta didik, dirancang sekolah sejak awal tahun pelajaran, dan dimasukkan ke dalam Kalender Akademik. Misalnya, kunjungan ke tempattempat yang menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air, menumbuhkan semangat kebangsaan, melakukan pengabdian masyarakat untuk menumbuhkan kepedulian dan kesetiakawanan sosial (membantu mereka yang tertimpa musibah banjir, memperbaiki atau membersihkan tempat-tempat umum, membantu membersihkan atau mengatur barang di tempat ibadah tertentu).
Penilaian pencapaian pendidikan nilai budaya dan karakter didasarkan pada indikator. Sebagai contoh, indikator untuk nilai jujur di suatu semester dirumuskan dengan “mengatakan dengan sesungguhnya perasaan dirinya mengenai apa yang dilihat, diamati, dipelajari, atau dirasakan” maka guru mengamati (melalui berbagai cara) apakah yang dikatakan seorang peserta didik itu jujur mewakili perasaan dirinya. Mungkin saja peserta didik menyatakan perasaannya itu secara lisan tetapi dapat juga dilakukan secara tertulis atau bahkan dengan bahasa tubuh. Perasaan yang dinyatakan itu mungkin saja memiliki gradasi dari perasaan yang tidak berbeda dengan perasaan umum teman sekelasnya sampai bahkan kepada yang bertentangan dengan perasaan umum teman sekelasnya. Penilaian dilakukan secara terus menerus, setiap saat guru berada di kelas atau di sekolah. Model anecdotal record (catatan yang dibuat guru ketika melihat adanya perilaku yang berkenaan dengan nilai yang dikembangkan) selalu dapat digunakan guru.
Selain itu, guru dapat pula memberikan tugas yang berisikan suatu persoalan atau kejadian yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan nilai yang dimilikinya. Sebagai contoh, peserta didik dimintakan menyatakan sikapnya terhadap upaya menolong pemalas, memberikan bantuan terhadap orang kikir, atau hal-hal lain yang bersifat bukan kontroversial sampai kepada hal yang dapat mengundang konflik pada dirinya.
Dari hasil pengamatan, catatan anekdotal, tugas, laporan, dan sebagainya, guru dapat memberikan kesimpulan atau pertimbangan tentang pencapaian suatu indikator atau bahkan suatu nilai. Kesimpulan atau pertimbangan itu dapat dinyatakan dalam pernyataan kualitatif sebagai berikut ini.
BT : Belum Terlihat (apabila peserta didik belum memperlihatkan tanda-tanda awal perilaku yang dinyatakan dalam indikator).
MT : Mulai Terlihat (apabila peserta didik sudah mulai memperlihatkan adanya tanda-tanda awal perilaku yang dinyatakan dalam indikator tetapi belum konsisten).
MB : Mulai Berkembang (apabila peserta didik sudah memperlihatkan berbagai tanda perilaku yang dinyatakan dalam indikator dan mulai konsisten).
MK : Membudaya (apabila peserta didik terus menerus memperlihatkan perilaku yang dinyatakan dalam indikator secara konsisten).

Pernyataan kualitatif di atas dapat digunakan ketika guru melakukan asesmen pada setiap kegiatan belajar sehingga guru memperoleh profile peserta didik dalam satu semester tentang nilai terkait (jujur, kerja keras, peduli, cerdas, dan sebagainya). Guru dapat pula menggunakan BT, MT, MB atau MK tersebut dalam rapor. Posisi nilai yang dimiliki peserta didik adalah posisi seorang peserta didik di akhir semester, bukan hasil tambah atau akumulasi berbagai kesempatan/tindakan penilaian selama satu semester tersebut. Jadi, apabila pada awal semester seorang peserta didik masih dalam status BT sedangkan pada penilaian di akhir emester yang bersangkutan sudah berada pada MB maka untuk rapor digunakan MB. Ini membedakan penilaian hasil belajar pengetahuan dengan nilai dan ketrampilan.
Ada 2 (dua) jenis indikator yang dikembangkan dalam pedoman ini. Pertama, indikator untuk sekolah dan kelas. Kedua, indikator untuk mata pelajaran. Indikator sekolah dan kelas adalah penanda yang digunakan oleh kepala sekolah, guru, dan personalia sekolah dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi sekolah sebagai lembaga pelaksana pendidikan budaya dan karakter bangsa. Indikator ini berkenaan juga dengan kegiatan sekolah yang diprogramkan dan kegiatan sekolah sehari-hari (rutin). Indikator mata pelajaran menggambarkan perilaku afektif seorang peserta didik berkenaan dengan mata pelajaran tertentu. Indikator dirumuskan dalam bentuk perilaku peserta didik di kelas dan sekolah yang dapat diamati melalui pengamatan guru ketika seorang peserta didik melakukan suatu tindakan di sekolah, tanya jawab dengan peserta didik, jawaban yang diberikan peserta didik terhadap tugas dan pertanyaan guru, serta tulisan peserta didik dalam laporan dan pekerjaan rumah.
Perilaku yang dikembangkan dalam indikator pendidikan budaya dan karakter bangsa bersifat progresif. Artinya, perilaku tersebut berkembang semakin kompleks antara satu jenjang kelas ke jenjang kelas di atasnya ( 1-3; 4-6; 7-9; 10-12), dan bahkan dalam jenjang kelas yang sama. Guru memiliki kebebasan dalam menentukan berapa lama suatu perilaku harus dikembangkan sebelum ditingkatkan ke perilaku yang lebih kompleks. Misalkan,”membagi makanan kepada teman” sebagai indikator kepedulian sosial pada jenjang kelas 1-3. Guru dapat mengembangkannya menjadi “membagi makanan”, membagi pensil, membagi buku, dan sebagainya. Indikator berfungsi bagi guru sebagai kriteria untuk memberikan pertimbangan tentang perilaku untuk nilai tertentu telah menjadi perilaku yang dimiliki peserta didik. Untuk mengetahui bahwa suatu sekolah itu telah melaksanakan pembelajaran yang mengembangkan budaya dan karakter bangsa, maka ditetapkan indikator sekolah dan kelas antara lain seperti berikut ini.

3. Penutup
3.1.Kesimpulan
Peran guru dalam pendidikan karakter bangsa disekolah adalah sebagai model atau contoh bagi anak, sebagai pengajar dan pembimbing dalam pengalaman belajar, dan sebagai pelajar (leamer). Guru bukan hanya mendidik peserta didiknya agar berhasil dalam bidang akademis melainkan guru juga merupakan teladan atau contoh dari suatu karakter manusia yang baik, memiliki budaya perdamaian dan juga moral yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan manusia dan Tuhannya.
Pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa di sekolah bisa dilakukan melalui pengembangan diri ( kegiatan rutin sekolah, kegiatan spontan, keteladanan, pengkondisian), pengintegrasian dalam mata pelajaran dan melalui budaya sekolah.
3.2 Saran
Sebagai harapan bagi peran guru dalam pendidikan karakter disekolah yaitu perlunya sikap disiplin. Termasuk dalam pengertian disiplin adalah disiplin kerja, disiplin cara hidup sehat, disiplin berlalu-lintas, sanitasi, pelestarian lingkungan.

Daftar Rujukan
Hasan Said H. 2010. PENGEMBANGAN PENDIDIKAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA. Jakarta. Kementrian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum

Anonim, http://ide-guru.blogspot.com/2010/05/peranan-guru-dalam-pendidikan-karakter.html, diundu 12 april 2011, 20.12